P
|
embagian Bangunan, Dalam
setiap aspek kehidupan suku Dayak dahulu selalu didasari oleh kepercayaan
terhadap penguasa tertinggi yang menempati 2 (dua) alam yaitu alam atas serta
alam bawah dan manusia berada diantara kedua alam tersebut. Pandangan tersebut
mempengaruhi dalam pembagian bangunan rumah tradisional suku Dayak secara umum
yaitu bangunan dibagi menjadi 3 (tiga) meliputi kepala, badan, dan kaki. Atap
dianalogikan sebagai kepala, dinding sebagai badan dan pondasi atau kolom
struktur sebagai kaki. Selain itu, sistem rumah panggung secara spontan
mengungkapkan mental yang sadar akan dirinya, yang merasa di atas dan mengatasi
alam sehingga dapat dijumpai sebentuk harga diri yang benar-benar harafiah
maupun kiasan mengatasi alam, raja terhadap nasib alam (Mangunwidjaya, 1995:113114).
Luas Bangunan, Bangunan
Betang berukuran besar dan berbentuk memanjang karena ditempati oleh beberapa
keluarga secara turun-temurun. Jumlah anggota keluarga dapat digunakan untuk
menetapkan jumlah dan ukuran ruang, sedangkan untuk menetapkan jumlah dan
ukuran ruang yang tepat, perlu dilihat dari susunan keluarga (Surowiyono, 1982:
33).
Makna Pemilihan Bentuk Bangunan, berdasarkan
pada kepercayaan dimana penguasa alam tertinggi menempati 2 (dua) alam dan
manusia berada diantaranya sehingga suku Dayak dulu beranggapan bahwa aman
apabila hidup diantara alam tersebut, maka mereka memilih rumah panggung
sebagai bentuk rumah tinggal mereka dan dianalogi-kan ke dalam bentuk bangunan
seperti kolong rumah sebagai alam bawah dan badan bangunan sebagai alam tengah.
Fenomena yang ada di suku Dayak sama seperti pernyataan Mangunwijaya bahwa bagi
orang dahulu, tata wilayah dan tata bangunan alias arsitektural tidak diarahkan
pertama kali demi penik-matan rasa estetika bangunan, tetapi terutama demi
pelangsungan hidup secara kosmis. Orang dahulu spontan membagi dunia dalam tiga
lapis yaitu dunia atas (surga, kahyangan), dunia bawah (dunia maut), dan dunia
tengah yang didiami manusia (Mangun-wijaya, 1995:95-96). Pernyataan ini
terbukti pada rumah Betang dimana bentuk bangunan sangat sederhana karena
fungsi dari bangunan tersebut yang diutamakan namun terkandung pemikiran yang
dalam, dimana selalu dikaitkan dengan kepercayaan mereka saat itu. Sedangkan
rumah sekarang, dalam pemilihan bentuk bangunan hanya sekedar menilai bentuk
rumah dulu walaupun tidak sama persis, mencoba mengkombinasikan bentuk
tradisional dengan bentuk yang lebih modern, dengan kata lain mencoba
memanfaatkan hikmat serta keuntungan-keuntungan fisik serta teknisnya
(Mangunwijaya, 1995:113).
Pembagian Ruang,
pembagian ruang sangat sederhana terlihat dari denah, dimana ruangan dibagi
menjadi 3 (tiga) bagian yaitu 1) Batang Huma yang terdiri dari ruang los dan ruang
tidur, 2) dapur dan 3) karayan. Dalam pem-bagian ruang pun selalu didasari pada
kepercayaan terhadap penguasa alam tertinggi.
Bentuk Ruang,
ruang di dalam rumah Betang selalu berada pada satu dinding yang melingkupi
ruang secara kese-luruhan sehingga dapat disebut dengan istilah ruang tertutup.
Lain halnya dengan rumah Betang III dimana ruang-ruang berada pada dinding
nyata yang berbeda dan ruang nyata mempunyai hubungan langsung dengan bagian
luar sehingga disebut dengan ruang terbuka (Suptandar, 1999:62).
Dalam
rumah Betang terdapat ruang yang berukuran paling besar dari ruang lain yaitu
ruang los yaitu ruang tamu atau ruang keluarga, itu dikarenakan suku dayak
menganut sistem keluarga besar dan kekerabatan yang kuat sehingga membutuhkan
ruang untuk keluarga berkumpul. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep
hidup kebersamaan dan keterbukaan masih terjaga dan itu tercermin dari bentuk
ruang yang ada dalam rumah Betang.
Tata Letak dan Peletakan Ruang,
dalam Rumah Betang dulu berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan dalam
peletakan ruang seperti berikut:
Ruang los,
harus berada ditengah bangunan karena merupakan pusat atau poros bangunan
dimana tempat orang berkumpul melakukan berbagai macam kegiatan baik itu
kegiatan keagaman, sosial masyarakat dan lain-lain.
Ruang tidur,
harus disusun berjajar sepanjang bangunan Betang. Peletakan ruang tidur anak
dan orang tua ada ketentuan tertentu dimana ruang tidur orang tua harus berada
paling ujung dari aliran sungai dan ruang tidur anak bungsu harus berada pada
paling ujung hilir aliran sungai, jadi ruang tidur orang tua dan anak bungsu
tidak boleh diapit dan apabila itu dilanggar akan mendapat petaka bagi seisi
rumah.
Dapur,
berada baik itu sebelah kanan atau kiri dari badan rumah dan harus menghadap
kealiran sungai agar penghuni rumah selalu mendapat rezeki.
Peletakan
ruang rumah Betang dulu semua berdasarkan kepercayaan dimana mengadung arti
yang mendalam dan sebagai wujud ketaatan pada adat.
Kolom/Tiang,
Rumah Betang identik dengan tiang-tiang ber-ukuran besar sebagai struktur utama
rumah karena kolom berfungsi sebagai pengikat dinding bangunan agar tidak goyah
dan sebagai penunjang beban bangunan di atasnya (Surowiyono, 1982:19). Namun,
seiring perkembangan jaman ada yang berubah pada tiang Betang sekarang
dibandingkan dengan tiang Betang dulu. Hal ini terlihat dari tinggi kolom, tata
letak dan peletakan kolom, diameter kolom, dan bahan kolom.
Tinggi
tiang rumah Betang pun mengalami peru-bahan. Dahulu, tinggi tiang rumah dari
permukaan tanah minimum ±3 m, namun sekarang tiang rumah Betang tidak lagi
setinggi rumah Betang dulu. Kondisi saat ini dan dulu sangat berbeda dimana
dulu alam masih asli sehingga tiang rumah harus dibuat tinggi untuk menghindari
binatang dan banjir. Selain itu juga masih ada perang antar suku atau lebih
dikenal dengan Hakayau (pemenggalan kepala) sehingga untuk ke-amanan
dibuat rumah bertiang tinggi (Mangunwijaya, 1995:113).
Pada
rumah Betang dulu ada 4 (empat) tiang yang disebut dengan tiang agung dan
setiap tiang mem-punyai nama seperti tiang Bakas, tiang Busu, tiang
Penyambut, dan tiang Perambai. Dalam tata letak tiang mempunyai
aturan-aturan tertentu seperti tiang Bakas berada di sebelah kanan pintu
masuk, tiang Busu berada di sebelah kiri pintu masuk, tiang Perambai berada
sederet dengan tiang Busu dan tiang Penyambut sederet dengan
tiang Bakas dan keempat tiang ini harus berada di tengah ruang los
(hasil wawancara). Bagi suku Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan bahwa
ke-empat tiang agung melambangkan turunnya manusia pertama yang diturunkan oleh
Ranying Hatala Langit.
Hejan
(Tangga), Rumah Betang merupakan rumah
berkolong dengan tiang yang tinggi sehingga untuk naik turun menggunakan tangga
disebut hejan yang terbuat dari kayu bulat dan dibuat ruas-ruas untuk tempat
kaki memanjat tangga tersebut. Suku Dayak dulu dalam membuat hejan mempunyai
aturan yang digunakan dimana aturan tersebut berkaitan dengan kepercayaan
mereka, seperti menentukan jumlah anak tangga harus ganjil sehingga pada
hitungan genap kaki sudah memasuki rumah dengan maksud agar terhindar dari
malapetaka. Dan menentukan jumlah railing tangga (pakang hejan) juga
harus ganjil 1 atau 3. Menurut filosofi suku Dayak, manusia dibagi menjadi 3
tingkatan usia yaitu anak-anak, remaja dan dewasa dimana masing-masing
tingkatan mempunyai jangkauan yang berbeda.
Penempatan Pintu Masuk,
Pada Betang dalam penempatan pintu masuk ada ketentuan yang harus ditaati yaitu
pertama, pintu ditempatkan di tengah-tengah bangunan rumah sehingga seakan-akan
menjadi garis yang membagi rumah sama rata, dengan kata lain terlihat pola
simetri pada bangunan. Kedua, pintu harus berada di bagian sisi panjang
bangunan rumah, dan ketiga, berdasarkan hasil wawancara pintu selalu berada di
depan ruang los.
Model,
Bentuk pintu rumah Betang sangat seder-hana, berbentuk polos baik itu pada
pintu masuk dan pintu bilik. Untuk membuka serta menutup pintu masuk digunakan
tangan kiri dengan maksud bila ada tamu dengan maksud baik, maka tangan kanan
digunakan untuk mempersilahkan tamu masuk. Sebaliknya jika tamu bermaksud jahat
dan langsung menyerang maka tangan kanan dapat digunakan untuk menangkis
serangan (Depdikbud, 1997/ 1998:61).
Walaupun
berbentuk sederhana karena yang lebih diutamakan adalah fungsi pintu sehingga
nilai estetis tidak begitu diperhatikan, namun terlihat ada pemi-kiran yang
mendalam menentukan bukaan pintu. Tetapi saat ini ada perubahan dimana pintu
yang semula hanya berfungsi sebagai unsur pengamanan sekarang diukir, dipilih
bahan yang baik agar terpandang dalam masyarakat
Semua
aturan tersebut berkaitan dengan keper-cayaan suku Dayak pada saat itu dengan
tujuan agar kehidupan penghuni rumah Betang dapat hidup damai karena hidup
penuh dengan keseimbangan.
Ukuran,
Suku Dayak dulu dalam menentukan ukuran pintu berdasarkan ukuran tubuh manusia
terutama ukuran tubuh wanita, dengan cara wanita duduk bersandar dan kaki
diselonjorkan maka didapatkan bukaan pintu. Sedangkan menentukan tinggi pintu
wanita berdiri dan sebelah tangannya menggapai ke atas maka didapat tinggi
pintu, sehingga tidak ada ukuran baku yang menjadi standar bukaan pintu rumah
Betang.
Rumah Betang Dulu,
Elemen dekoratif Betang dulu kental dengan nilai religius dimana ukiran, patung
dan anyaman mengan-dung makna seperti:
Ukiran
yang terdapat diatas ambang pintu berupa gambaran akan penguasa bumi baik itu
penguasa atas dan penguasa bawah, dimana setiap penem-patannya mempunyai maksud
tertentu, seperti:
Ukiran
Asun Bulan dimana ada 2 orang bersalaman. Makna dari ukiran ini adalah
tuan rumah haruslah ramah terhadap orang yang bertamu.
Ukiran
Tambarirang Maning Singkap Langit dimana ukiran menyerupai anjing
merupakan gambaran dari Tatun Hatuen (Raja Palasit). Di letakkan di atas
ambang pintu maksudnya agar hatuen tidak mengganggu penghuni.
Patung
berbentuk manusia pada pakang hejan (railling tangga) merupakan
simbol dari penja-ga rumah Betang. Maksud diletakkan di depan tangga karena
tangga merupakan pintu awal dari rumah sehingga roh-roh jahat tidak mengganggu
penghuni rumah.
Anyaman
yang terbuat dari rotan bermotif Batang Garing pada tiang agung dimana
motif ini melambangkan kesejahteraan.
(Ditulis
Ulang : Efri Dulie dari Astria, 2008)
No comments:
Post a Comment