Batang Garing dan Analogi Tubuh Manusia |
B
|
atang Garing atau dalam bahasa Sangiang sering disebut Batang Haring yang entah mengapa berubah
menjadi dari “H” menjadi “G” Garing
mungkin dikarenakan dialek bahasa Dayak
Ngaju dan jika diterjemahkah kedalam bahasa Indonesia (Pohon Kehidupan)
mengapa disebut dengan pohon kehidupan? Karena Haring dalam bahasa Dayak Ngaju dimaksud adalah hidup, contoh Haring Jawau (Pohon singkong yang hidup
begito saja), dll dan batang berarti pohon.
Batang garing pada awalnya tidak memiliki deskripsi seperti yang
anda lihat saat ini dikarenakan Batang
Garing hanya didengar dari tuturan para Basir/Pisor
(rohaniawan Hindu Kaharingan) dalam memimpin ritual salah satunya adalah pada ritual
Balaku Untung (memohon umur panjang),
dalam ritual ini ada tiga leluhur sangiang yang pada akhirnya sampai di tahta
(Balai) kuasa Ranying Hatalla dan Jatha
Balawang Bulau yaitu Raja Tunggal
Sangomang, Raja Mantir Mama Luhing
Bungai dan Raja Lingga Rawing Tempun
Telun dalam perjalanan tersebut maka Raja
Tunggal Sangomang-lah yang menaiki Batang
Garing atau disebut Batang Kayu Erang
Tinggang. Kemudian dalam prosesi tersebut para Basir/Pisor mendeskripsikan Batang Garing baik dari Akar, Batang,
Ranting, Daun, Bungga, Buah dari Pohon tersebut hal itulah yang sekarang kita
lihat digambarkan kedalam bentuk sket Batang
Garing yang dibuat dengan makna-makna dari apa yang disampaikan oleh para
Basir/Pisor.
Sebagaimana salah satunya yang ditulis oleh Teras Mihing, Phd sebagai berikut Pohon Batang Garing berbentuk tombak (Ranying Pandereh Bunu) dan menunjuk ke atas. Pohon ini melambangkan Ranying Hatalla Langit. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci (Katalatah) berisi air suci yang melambangkan Jatha Balawang Bulau atau dunia bawah. Dengan demikian disampaikan pesan bahwa dunia atas dan dunia bawah pada hakikatnya bukanlah dua dunia yang berbeda, tetapi sebenarnya merupakan suatu kesatuan dan saling berhubungan.
Sebagaimana salah satunya yang ditulis oleh Teras Mihing, Phd sebagai berikut Pohon Batang Garing berbentuk tombak (Ranying Pandereh Bunu) dan menunjuk ke atas. Pohon ini melambangkan Ranying Hatalla Langit. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci (Katalatah) berisi air suci yang melambangkan Jatha Balawang Bulau atau dunia bawah. Dengan demikian disampaikan pesan bahwa dunia atas dan dunia bawah pada hakikatnya bukanlah dua dunia yang berbeda, tetapi sebenarnya merupakan suatu kesatuan dan saling berhubungan.
Dahan-dahan
pohon berlekuk sedemikian rupa untuk melambangkan Jatha Balawang Bulau sedangkan daun-daun berbentuk ekor burung
enggang. Di sini juga dilambangkan bahwa kesatuan itu tetap dipertahankan.
Buah
Batang Garing ini, masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan
tiga yang menghadap ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai
keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Bunu. Sekali lagi diingatkan
bahwa turunan manusia harus mengarahkan pandangannya bukan hanya ke atas,
tetapi juga ke bawah. Dengan kata lain manusia harus menghargai Ranying Hatalla Langit dan Jatha Balawang Bulau secara seimbang.
Ditafsirkan menurut pengertian kontemporer, orang Dayak haruslah mampu menjaga
keseimbangan antara kepentingan keduniaan dan kepentingan akhirat.
Tempat
bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat
kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya
nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum
sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian orang-orang Dayak
diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena
tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau.
Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu
mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.
Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.
Selain melambangkan bagian dari kehidupan spritual
dimasa itu dan sekarang seperti dijelaskan diatas Batang Garing juga melambangkan bagian dari diri kita sendiri
(manusia) karena dalam berbagai prosesi yang dilakukan tidak terlepas dari hal
yang sebenarya ada pada diri manusia itu sendiri, maka kita mendengar ada
sebuat kalimat “Sapanyewu, Sapanekap.
Sapanekap, Sapanyewu” bagaimana yang dimaksud?
Batang
Garing Proses Manusia Dari Hidup Sampai Meninggal
Maka tidak salah nama Batang Garing (Pohon Kehidupan) ini juga melambangkan bagaimana
manusia itu hidup dan ada didunia ini, dalam hal ini dimulai dari Lime Sarahan dalam Pelek Rujin Pangawin
dalam proses perkawinan/pernikahan merupakan awal perjalanan Sangku yang
tersebut Ranying Hatalla Katamparan, Langit Katambuan, Petak Tapajakan, Nyalung
Kapanduai, Katalatah Padadukan. Sekilas
diterjemahan dalam bahasa yang bebas tidak memiliki makna yang khusus tetapi
dalam hal ini Sarahan ini memiliki
makna yang besar yaitu proses awal adanya kehidupan yang bermakna, Ayah adalah
Langit, Ibu adalah Bumi dan bagaimana semuanya disatukan untuk menjadi sebuah
kehidupan. Sebelum memaknai mengapa dikatakan ayah adalah langit, ibu adalah
bumi, dst dalam kepercayan Hindu Kaharingan dijelaskan bahwa ada tiga Roh/Zat
yang membuat manusia itu Hidup mereka adalah Balawang Panjang Ganan Bereng (merupakan Zat Ayah) yang mana dalam
kehidupan nyata kita sekarang menyatu dalam daging, Karahang Tulang Ganan
Bereng (merupakan Zat Ibu) dalam kehidupan nyata kita sekarang menyatu tulang
atau kerangka tubuh bilamana hanya ada darah daging dan tulang tanpa adanya roh
maka manusia itu mati atau tidak mampu melakukan aktivitasnya maka dari itu ada
satu Zat penting yang dapat membuat aktivitas/kehidupan yang disebut Panyalumpuk
Entang/Panyalumpuk Hambaruan (merupakan Zat Tuhan) roh Jiwa atau “Hambaruan”
(Dalam Bahasa Dayak Ngaju) dalam hal ini nanti akan berkitan dengan
prosesi-prosesi ritual yang dilakukan dari awal kehidupan (ketika ibu
mengandung) yaitu prosesi Palenteng
Kalangkang Sawang (ketika usia kehamilan 3 bulan), Nyakit Ehet/Dirit (usia
kehamilan 5-7 bulan), Mangkang Kahang
Badak (usia kehamilan 9 bulan) sampai Nahunan
(Pembaktisan/Pemberian Nama) serta ketika dia Dewasa dan menikah mulai dari Jalan Hadat dan Prosesi Tawur Santang sampai akhirnya manusia tersebut “Buli Hatalla” (meninggal dunia) yaitu
melewati Penguburan, Tantulak Ambu Rutas Matei dan Tiwah.
Kembali pada Batang
Garing yang terlihat dideskripsi sekarang semua berpusat pada bagian Balangga/Katalatah (guci bhs. Indo), Katalatah Padadukan dimaksud dalam Lime Sarahan adalah penyangga kehidupan
yang merupakan tempat berprosesnya terjadi kehidupan mengapa demikian karena
bentuk Balangga yang sama dengan
bentuk rahim, selain itu juga pada Balangga
dalam berbagai prosesi selalu diisikan air. Setelah menganalogikan Balangga (guci) adalah rahim dalam Batang
Garing, maka tidak akan ada kehidupan pohon
(Batang Kayu) jika tanpa langit (api dan udara) dan bumi (tanah) serta air
(Nyalung Kapanduai) air yang dimaksud
disini adalah air kehidupan dalam Bahasa Sangiang disebut Danum Nyalung, Kaharingan Belum setelah semua itu lengkap maka akan
memunculkan pohon (Kehidupan), maka
sama halnya dengan manusia yang melakukan hubungan intim setelah pernikahan,
yaitu ketika Ayah (langit) mengeluarkan zat berupa sperma dari dalam testinya dengan
ibu (bumi) mengeluarkan Ovum dari Ovarium, tanpa adanya air (Nyalung) maka
sperma tidak akan mencapai Ovum untuk terjadinya pembuahan (Nyalung tersebut
ada atas pemberian Ranying Hatalla dan Zatha Balawang Bulau), walaupun demikian
jika hanya ada zat ayah dan ibu maka hanya terbentuk kumpulan daging dan tulang
saja dan tidak akan hidup maka untuk menghidupinya diberikan Panyalumpuk
Entang/Panyalumpuk Hambaruan maka
muncullah kehidupan dalam hal ini dipahami dalam Batang Garing setelah Guci (Balangga) maka ada Tombak
yang dalam dalam bahasa Sangiang disebut Ranying
Kapendereh Bunu (Rawayang Kawit
Kalakai) merupakan sentral dalam bagi Batang
Garing begito juga dengan manusia tulang belakang (vertebra) merupakan sentra saraf pengatur kehidupan yang merupaka
awal batang kehidupan yang muncul pada embrio. Setelah hal tersebut maka
kemudian ada berbagai organ pelengkap pada manusia dan begito juga pada Batang Garing..........Bersambung.
No comments:
Post a Comment