Kalimantan tahun 1910 |
ontribusi Umat Kaharingan terhadap
bedirinya Provinsi Kalimantan Tengah.
Dalam pemikiran sebagian orang, ketika
mendengar kata Kaharingan, maka yang
tergambar dalam benaknya adalah sekompok masyarakat atau suku pedalaman yang
menghuni salah satu sisi di pulau Kalimantan, hidup dalam balutan ritualistic
bernuansa magis menyeramkan, namun dihiasi oleh senyuman bibir yang sensual,
dengan warna kulit putih sawo matang, kemudian lirikan mata sipit yang indah
dan telinga panjang berhiaskan kilauan emas dan permata. Tidak mengherankan
memang, pulau Kalimantan yang konon dijuluki sebagai “the lung of the word” karena hutannya yang luas, dengan kakayaan
alam yang berlimpah dan dihuni oleh ratusan suku dan anak suku yang menyebar di
beberapa sungai besar dan kecil di pelosok pulau Kalimantan. Memiliki pesona
dengan characteristic yang sangat berbeda dengan daerah lainya, dan mengundang
banyak pertanyaan yang penuh misteri hingga sekarang ini.
Dimulai dari misteri kata Kaharingan misalnya, sejak namanya
dikenal pada era 70-an, dipahami beragam oleh masyarakat luas, bahkan oleh
orang Kalimantan itu sendiri, karena banyaknya suku yang ada di Kalimantan,
nama Kaharingan pun dianggap sebagai
salah satu anak suku Dayak, yaitu Dayak
Kaharingan.
Agama pribumi di pulau Kalimantan
Tengah ini pada awalnya disebut oleh Kolonial Belanda sebagai agama Helo (dahulu), Hiden (heathens),
Kapir, Tempon Telun dan sebagainya: dan baru di zaman pendudukan Jepang
diberikan nama khas oleh seorang Demang (kepala adat Dayak), Damang Yohanes Salilah, yaitu Kaharingan dan direstui oleh pemerintah
Jepang. Hingga sekarang nama tersebut diakui dan diterima oleh masyarakat,
terutama oleh pemeluknya. Damang Yohanes Salilah, yang pernah menjadi “Balian” atau “Basir” (pinandita/pendeta Kaharingan)
sebelum memeluk agama Kristen, menerangkan bahwa kata Kaharingan berasal dari bahasa
Sangen atau bahasa Sangiang (bahasa ini hanya digunakan dalam tuturan/mantra
ritual Kaharingan) yang berarti dengan sendirinya (by itself), secara
lugas kata Kaharingan berarti Kehidupan (Prof. KMA Usop: 1975).
Era kemerdekaan yang
dinikmati rakyat Indonesia pada tahun 45-an, ternyata tidak dirasakan oleh Umat
Kaharingan ketika itu. Walaupun segala pelaksanaan ritual Kaharingan tetap
berjalan, namun Departemen Agama Republik Indonesia belum dapat melayani dan
mengakui Kaharingan sebagai agama.
Kantor Urusan Agama Propinsi Kalimantan di Banjarmasin ketika itu, belum bisa
membina dan melayani umat Kaharingan. Dalam rangka memperjuangkan Kaharingan
sebagai agama, maka berdirilah Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI), sebagai partai politik, hasil
kongres I tokoh-tokoh Kaharingan di Desa Tangkahen tahun 1950. Selanjutnya
tahun 1953 mengadakan kongres di Desa Bahu Palawa, dan salah satu tuntutan
kontroversial kongres yaitu menuntut Kalimantan Tengah lepas dari Propinsi
Kalimantan Selatan (ketika itu Kalteng dan Kalsel bergabung menjadi satu
provinsi), sebelum pemilu 1955. Kalimantan Tengah diharapkan menjadi Propinsi
tersendiri bagi umat Kaharingan. Merasa
tuntutan tersebut
menemui jalan buntu segenap orang Dayak mengadakan gerakan, dengan nama Gerakan
Mandau Talawang Pancasila (GMTPS) dipimpin oleh tokoh Kaharingan/Ketua Umum
SKDI bernama Sahari Andong, dibawah
komando Panglima CH. SIMBAR yang dikenal dengan Panglima Uria Mapas. Akhirnya pada
5 Desember 1956 tuntutan tersebut dikabulkan. Propinsi Kalimantan Tengah
dibentuk dengan Undang–Undang Darurat No: 10 Tahun 1957; Tentang Pembentukan
Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah. Harapan umat Kaharingan, bahwa
Kaharingan akan dibina seperti Agama lainnya oleh Pemerintah semakin terang. Namun kenyataan yang diterima setelah
Provinsi Kalimantan Tengah berpisah dengan provinsi Kalimantan Selatan tidak
seindah harapan.
Eksistensi
Kaharingan semakin sulit, seperti kesulitan menjadi Pegawai Negeri, kesulitan
mendapat pendidikan agama dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.
Puncak ketidak-merdekaan yang dialami umat Kaharingan pada Tahun 1979, saat
Mendagri (Jenderal Amir Machmud), mengeluarkan kebijakan dalam mengisi KTP,
menyatakan bahwa untuk kolom Agama bagi yang bukan beragama Islam, Kristen,
Khatolik, Hindu dan Budha, dibuat tanda strip “-“ yang berarti penganut
aliran kepercayaan. Umat Kaharingan merupakan umat yang merasakan
ketidak-adilan dengan kebijakan Mendagri tersebut. Alhasil kebijakan Mendagri
tersebut menimbulkan gejolak, bahkan ada yang telah mengibarkan Bendera Putih,
sebagai tanda Kaharingan telah berakhir. Sudah tentu umat Kaharingan sangat
keberatan dan beberapa orang menemui Bapak. Simal Penyang dan Lewis KDR dll.
Kemudian sebagai hasil pertemuan umat dengan Bapak Simal Penyang, Lewis KDR,
Liber Sigai dll, dibuatlah sebuah pernyataan tertulis yang
ditandatangani oleh Bapak Lewis KDR dan Bapak Liber Sigai, menyatakan mencabut
dukungan umat Kaharingan terhadap partai politik yang berkuasa pada saat itu.
Dokumen tersebut dibawa oleh Bapak Rangkap I Nau dan disampaikan oleh Walter
S.Penyang kepada Bapak Manase Pahu, selaku ketua Fraksi Karya Pembangunan
DPRD Propinsi Kalimantan Tengah. Melihat
situasi demikian Bapak Manase Pahu, Barthel Benung, BA dan Bapak Simal
Penyang menghadap Gubernur Kalimantan Tengah Willa A.Gara, namun beliau tidak
bisa berbuat apa-apa, karena kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang dibuat
oleh Pemerintah Pusat melalui Mendagri, sehingga cita-cita luhur umat
Kaharingan masih menemui jalan buntu.
Kronologis
Integrasi Kaharingan dengan Hindu Dharma
Perlakuan Diskriminasi telah melukai lubuk hati
sanubari Umat Kaharingan.
Meskipun merupakan komunitas pertama
yang mempelopori cikal bakal berdirinya Propinsi Kalimantan Tengah, pada jaman
dahulu, namun keberadaan umat Hindu Kaharingan masih terpinggirkan dari
kesejahteraan. Minimnya perhatian pemerintah pusat dan daerah seakan membuat
masyarakat Dayak Kaharingan terasing di rumah sendiri. Tidak heran, jika umat
Hindu Kaharingan terus berjuang untuk memperoleh perlakuan yang sama dari
pemerintah seperti halnya agama lain. Kepedihan
yang mendalam akibat perilaku diskriminasi “SARA” yang dialami umat Kaharingan
terus terjadi. Dimulai sejak masuknya “Missi Suci “ penjajah Belanda di
Kalimantan Tengah hingga di era kemerdekaan pun masih terasa, dan kebijakan
pemerintah Indonesia yang sentralistik tersebut diatas, terasa menyakitkan.
Segala usaha atau upaya terus ditempuh oleh para tokoh Kaharingan, walaupun
adanya distorsi yang serius dari pihak luar, terhadap penganut Kaharingan,
melalui fenomena penolakan terhadap upacara-upacara dengan pemberian nama yang
menyakitkan dan penghinaan, menyebutkan umat Kaharingan adalah penganut aliran
kepercayaan. Ritual keagamaan
Kaharingan dianggap sebagai upacara Adat. Di masa jaman missi Zending, mereka
menjalankan taktik penghapusan atau mentabukan ritual Kaharingan. Karena
ritual-ritual Kaharingan disebut Kapir, Hiden, Ragi Usang. Apabila umat Hindu Kaharingan
melaksanakan upacara Tiwah, Wara, Injambe disebut upacara adat. Terhambatnya mengangkat harkat dan martabat selaku anak bangsa dan
manusia yang telah merdeka dari penjajahan dan penindasan, perkembangan SDM
yang jauh tertinggal karena tidak pernah diperhatikan, sehingga pengkaderan
melalui program Pemerintah tidak pernah menyentuh umat Kaharingan, menyebabkan
umat Kaharingan tidak mampu bersaing diarena kehidupan. Membuat segenab umat
Kaharingan bertekat untuk meyelesaikan kepedihan atas ketidakadilan yang
diterima dengan melakuka pertemuan bersejarah antara tokoh-tokoh Kaharingan
ketika itu diantaranya: Simal Penyang, Lewis KDR, Sahari Andung, Itar Ilas,
Dagon Ginter, Drs. Liber
Sigai, Bajik R. Simpei, Walter S. Penyang, Rangkap I. Nau, dengan tokoh Hindu
yang berasal dari Bali seperti: I Wayan Madu., I Dewa Made Gereh Putra., Drs. Oka Swastika.,
Drs. Artana., Nyoman Tasra, Nyoman Saad
Wilotama, Nyoman Suanda, SH,
bersatu-padu dan mulai bergerak menegakkan persatuan umat
Hindu untuk mencari solusi untuk mempertahankan eksistensi umat Kaharingan,
mengadakan rapat dan selanjutnya
Pimpinan Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan. Hasil
pertemuan tersebut sepakat untuk
mengirimkan surat kepada pimpinan Parisada Hindu Dharma Pusat di Denpasar
perihal keinginan umat Kaharingan di Kalimantan Tengah
yakni; penggabungan/integrasi
Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia dengan Parisada Hindu Dharma, dan
Agama Kaharingan bergabung dengan Hindu Dharma nomor surat: 5/KU-KP/MB-AUKI/I/1980. Keinginan umat Kaharingan tersebut disambut baik oleh Parisada Hindu
Dharma Pusat dengan nomor surat: 24/Perm/I/PHDP/1980, tentang diterimanya
keinginan Majelis Besar Alim Ulama
Kaharingan Indonesia untuk berintegrasi dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Sebagai tindak lanjut surat MBAUK Indonesia dan
PHDI Pusat ketika itu, maka keluar surat dari Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama RI nomor: H.II/1980 tanggal 12
Pebruari 1980, tentang penggabungan/integrasi umat Kaharingan dengan Hindu yang
ditanda tangani oleh Direktur Urusan Agama Hindu yakni drg. Willy Pradnya
Surya.
Berdasarkan Surat Dirjen Bimas Hindu dan Budha
tersebut di atas, maka Gubernur Kalimantan Tengah mengeluarkan kebijakan
melalui surat nomor: T.M.49/I/3 tanggal 20 Pebruari 1980 tentang penggabungan umat Kaharingan dengan umat
Hindu. Surat ini ditujukan kepada Bupati/Walikota se-Kalimantan Tengah, sebagai
pemberitahuan bahwa Kaharingan berintegrasi dengan Hindu, dan dibina oleh
Departemen Agama. Beberapa hari berikutnya Bapak Lewis KDR selaku
pimpinan Majelis
Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia didampingi
Manase Pahu berangkat ke Jakarta (Departemen Agama R I). Perjalanan ke Jakarta
dibiayai Lukas Tingkes sebesar
Rp. 148.000. Hasil ke Jakarta tersebut, akhirnya keluar SK Dirjen Bimas
Hindu dan Budha Departemen Agama RI No: H/37/SK/ 1980, Tanggal 19 Maret 1980,
tentang Pengukuhan
Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (perubahan dari Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia), sebagai Lembaga Keagamaan,
bertugas untuk mengelola dan membina umat Kaharingan. Selanjutnya disebut Hindu
Kaharingan, sebagai follow-up keluarnya Keputusan tersebut Bapak Lewis BBA, Simal Penyang,
Liber Sigai, Oka Swastika dkk berangkat ke Denpasar (Bali), untuk konsultasi
dan koordinasi
dengan para sesepuh Hindu Dharma, dan diterima oleh para pimpinan PHDI Pusat dan Prof. Dr. Ida Bagus Oka
(Rektor Universitas Udayana, Bali).
Tanggal 16 April 1980 diadakan rapat konsultasi dengan para
pimpinan Hindu Indonesia yaitu: Drs. Oka Puniatmaja, Ketua PHDI Pusat, I Wayan Surpha, Sekjen PHDI Pusat, Nyoman
Pinda, Cok Raka Dherana,
SH, Wakil Presiden Pemuda Hindu se-dunia, Prop Dr. Ida Bagus Oka, Cok Rai Sudharta, MA dan membicarakan kedudukan organisasi
masing-masing. Kemudian tanggal 17 April 1980, diterima oleh sesepuh Hindu, Prof Dr. Ida Bagus
Mantra (Gubernur Propinsi Bali), setelah melaporkan hasil pertemuan, tanggal 16 Maret 1980, di hotel Bali, maka beliau
menyatakan bahwa kekuatan Hindu
Indonesia yang telah berkembang belasan
abad, dan di Kalimantan malah yang tertua di Indonesia. kemudian pertemuan itu dilanjutakan dengan
melaksanakan ritual terhadap Bapak Lewis KDR yakni “disudiwadani-kan” mewakili
umat Kaharingan di Pura Jagadnatha – Denpasar, dan di beri nama kehormatan I Putu Jatha Mantra.
MUBES V MB-AHK Pusat Palangka Raya |
Majelis
Besar Agama Hindu Kaharingan, memperkuat kekuatan organisasi agama Hindu dalam
memperjuangkan nasib umatnya, dan disarankan program utama adalah meningkatkan
SDM, melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang bernafaskan
Hindu Kaharingan. Sehingga membuka
Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Kaharingan Parentas Palangka Raya (PGA-HK)
sebagai cabang PGA Hindu Negeri Denpasar di Kota Palangka Raya. Beberapa tahun
kemudian didirikan Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan (STA-HK) Tampung
Penyang Palangkaraya.
Integrasi
Kaharingan dengan Hindu merupakan keinginan murni dari umat Kaharingan ketika
itu, sebagai jalan terbaik bagi umat Kaharingan dalam rangka mendapat pembinaan
dari Pemerintah.
Selanjutnya rentetan proses ritual
untuk mengukuhkan integrasi Kaharingan dengan Hindu Dharma terus dilakukan
seperti ritual “Hambai”,
angkat saudara kandung seperjuangan antara tokoh Kaharingan dan anggota PHDI – Pusat, 30 Maret 1980 s/d 1 April 1980. Kemudian di Balai
Induk Kaharingan pada bulan April 1980 dilaksanakan upacara Balian Balaku Untung Aseng Panjang
dan Manggantung Sahur MBAHK,
dengan dihadari oleh Ketua umum PHDI
Pusat, yakni Drs. Oka Puniatmaja, drg. Willy Pradnya Surya (Sek Dirjen
Bimas Hindu Budha Dep Agama RI), dan beberapa
tokoh-tokoh Hindu Indonesia dan Kalteng antara lain: Simal Penyang,
Lewis KDR, Sahari Andung, Itar Ilas, Dagon Ginter, Drs. Liber Sigai,
Walter S. Penyang, Rangkap I. Nau, Drs. Oka
Swastika, I Dewa Gereh Putra, I Wayan Madu, dll. Ritual tersebut diatas menghadirkan seorang
Pedanda untuk hadir pada upacara Balaku
Untung Aseng Panjang tersebut. Dalam rangka menilik persamaan dan
perbedaan pelaksanaan ritual Kaharingan dengan acara agama Hindu, disamping
melakukan Pensudian bagi para tokoh Hindu Kaharingan. Sebagai tindak-lanjut
dari SK. Dirjen Bimas Hindu dan
Budha Departemen Agama RI No. H. 37/ SK/ 1980 yang mengukuhkan Majelis Besar
Agama Hindu Kaharingan sebagai Badan Keagamaan Hindu, sehingga lembaga ini
dipersilahkan dan mempunyai kewenangan melakukan upacara-upacara bagi umat Hindu di luar yang
berasal dari Suku Dayak. Pada saat upacara Balian tersebut Ida Pedanda memakai atribut penuh
kepanditaannya, karena menurut beliau upacara Balian Balaku Untung Aseng Panjang adalah upacara tertinggi umat Hindu, dilihat dari sesajen, urutan upacara, atribut upacara
tersebut.
Kemudian untuk mengantisipasi isu
bahwa dengan integrasi tersebut umat Kaharingan akan di Bali-kan, atau
meninggalkan upacara-upacara agama yang telah dilakukan di Kalimantan Tengah,
dikeluarkan edaran PHDI Prop Kalteng, No. I / E/ PHDI-KH/1980;
bahwa tata cara pelaksanaan upacara keagamaan yang telah dilakukan Kaharingan
sebagai upacara agama Hindu tetap di pelihara dan dilestarikan, sepanjang tidak
bertentangan dengan Weda dan Panaturan, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Republik Indonesia. Edaran ini sesuai
pula dengan pentunjuk sesepuh Hindu Indonesia Prof. Dr. Ida Bagus Mantra
(Gubernur Bali, pada saat itu), di
Denpasar Tanggal 17 Maret 1980 dihadapan
pimpinan PHDI Pusat dan tokoh umat Kaharingan
lainnya, diruang rapat Rumah Jabatan Gubernur.
Riwayatmu
Sekarang
Di era tahun 2000-an, seiring semakin
berkembangnya intelektual maupun peradaban umat Hindu Kaharingan, permasalahan
yang dihadapi bukan lagi seputar eksistensi dibina atau tidak oleh Departemen
Agama, dan tidak paham maupun tidak dimengertinya ajaran-ajaran luhur keagamaan
Hindu Kaharingan, namun keberadaan Hindu Kaharingan sedikit dimamfaatkan oleh
segelintir orang sebagai ajang mencari populeritas (baca, dimamfaatkan dalam
dunia politik) menuju pe-sugihan sekelompok orang maupun individual. Hal dapat
dimengerti mengingat jumlah penganut atau umat Hindu Kaharingan di Kalteng
mencapai 300.000 orang hal ini merupakan potensi besar untuk menentukan suara
dalam pilkada di dearah Kalimantan Tengah (Palangka Raya, Banjarmasin Post
Kamis, 17 Maret 2005). Fenomena dipolitisasinya keberadaaan Hindu
Kaharingan tersebut diatas melahirkan fenomene negative bagi umat sehingga
sebagian dari umat yang tidak paham dunia politik memilih bersikap fasif
terhadap segala bentuk aktivitas keagamaan bahkan ada yang hengkang dari Hindu
Kaharingan. Karena terlalu bosan menonton ‘sandiwara’ yang dipertontonkan oleh
segelintir orang di atas. Namun tidak semua umat Hindu Kaharingan
menyalah-gunakan eksistensi Hindu Kaharingan yang semakin hari-semakin
diperhitungkan keberadaannya.
(Oleh: Tiwi Etika, Phd)
No comments:
Post a Comment