Kasongan (Kecematan Katingan Hilir) |
Dalam
urai awal ini mengungkapkan asal-usul nenek moyang berdasarkan tanturan/cerita dari zaman dahulu
tentang Raja Bunu dan istrinya Kameluh Tanteluh Petak beserta dengan
anak-anaknya yang berasal dari khayangan
(langit) dan diturunkan oleh Tuhan (Ranying
Hatalla) dengan Palangka Bulau
Lambayung Nyahu dari Lewu Bukit Tambak Raja (Khayangan Lagit Lapisan Pertama) di
Tumbang Lawang Langit ke dunia, yaitu di puncak Tantan Bukit Samatuan yang kemudian dari puncak bukit tersebut
mereka membagi dan berkembang keseluruh dunia (Panaturan, 1985). Secara
tertulis mengenai perkembangan penyebaran keturunan Raja Bunu di Aliran Sungai
Katingan sampai saat ini masih belum bisa ditemukan karena belum dijumpainya
aksara dalam bahasa leluhur yaitu Bahasa
Sangiang termasuk artefak atau batu bertulis yang berasal dari masyarakat
Pribumi yang ada hanyalah bahasa lisan sebelum masuknya adat dan budaya
Hindu-Budha, Islam dan Kristiani pada masa-masanya.
Sekalipun demikian banyak para ahli yang tertarik untuk mengungkapkan asal usul masyarakat Nusantara termasuk didalamnya suku Bangsa Dayak Ngaju dan O’ot Danum yang banyak mendiami aliran Sungai Katingan yang salah satunya adalah Robert Heine van Geldern dan Bellwood Menurut beliau, penghijrahan petani dari Taiwan itu ke Asia Tenggara adalah kira-kira 2000 Sebelum Masihi (6000 tahun lalu) Menurut beliau, ‘bukti’ teori ini adalah serpihan tembikar (potsherd), tulang anjing, alat batu, pisau mengetam (reaping knives), beras dan sekoi (millets). Menurut beliau bahan-bahan ini hanya ditemui di Taiwan dan Asia Tenggara. Sehingga akhirnya disimpulkan bahwa Taiwan merupakan tanah asal nenek moyang rumpun penutur bahasa Austronesia kerana jumpaan bahan-bahan tersebut paling berencam dan paling padat di tempat itu, teori ini didasarkan pada Teori yang diajukan oleh Edward Sapir (1916) Menurutnya, dalam
sesebuah wilayah besar yang mempunyai persamaan bahasa, artifak, biologi dan sebagainya, lokasi paling berencam dan paling padat dengan unsur-unsur tersebut merupakan tempat amat besar kemungkinannya titik bermula unsur-unsur tersebut (bahasa, artifak, biologi dan sebagainya). Kata kunci Teori Sapir ialah ‘keberencaman’ dan ‘kepadatan.’ menanggapi hal ini penulis tertarik dengan tulisan Mohamed Anwar Omar Din dalam jurnal Melayu (Asal Usul Orang Melayu: Menulis Semula Sejarahnya) bahwasan apa pun bukti yang diajukan dan secanggih apapun metodologi penyelidikan yang digunakan serta dalam bidang mana sekali pun, baik bahasa, arkaeologi, antropologi, biologi maupun genetik atau forensik, adakah mungkin peristiwa yang terjadi berpuluh-puluh ribu tahun dapat dipastikan dengan jitu sedangkan peristiwa yang terjadi baru-baru saja masih dipertanyakan dan diperdebatkan kebenarannya, maka dari itu tidak ada satu pun bangsa di dunia yang dapat dipastikan asal-usulnya, seperti yang disampaikannya jika sekalipun ada kesamaan dalam berbagai hal mungkin saja memiliki kekerabatan tetapi tidak menunjukan atau menjelaskan tanah asal suatu bangsa? Untuk hal diatas juga terbantahkan dengan usia tengkorak dan fosil purbakala yang jauh lebih tua daripada di wilayah Cina, termasuk juga tulisan I-tsing (Yijing) pada abad ke-7 Masehi yang singgah ke Sumatra dari dan ke India-Cina (M Anwar, 2011). Kembali kepada kebenaran ataukah ketidak benaran teori-teori tersebut diatas masyarakat yang tinggal di Aliran Sungai Katingan tetaplah menyakini dan menjadikan pola kehidupan sejak turun temurun berdasaran apa yang dilakuan oleh leluhur mereka berdasarkan tuturan Tatu Hiang (leluhur).
Sekalipun demikian banyak para ahli yang tertarik untuk mengungkapkan asal usul masyarakat Nusantara termasuk didalamnya suku Bangsa Dayak Ngaju dan O’ot Danum yang banyak mendiami aliran Sungai Katingan yang salah satunya adalah Robert Heine van Geldern dan Bellwood Menurut beliau, penghijrahan petani dari Taiwan itu ke Asia Tenggara adalah kira-kira 2000 Sebelum Masihi (6000 tahun lalu) Menurut beliau, ‘bukti’ teori ini adalah serpihan tembikar (potsherd), tulang anjing, alat batu, pisau mengetam (reaping knives), beras dan sekoi (millets). Menurut beliau bahan-bahan ini hanya ditemui di Taiwan dan Asia Tenggara. Sehingga akhirnya disimpulkan bahwa Taiwan merupakan tanah asal nenek moyang rumpun penutur bahasa Austronesia kerana jumpaan bahan-bahan tersebut paling berencam dan paling padat di tempat itu, teori ini didasarkan pada Teori yang diajukan oleh Edward Sapir (1916) Menurutnya, dalam
sesebuah wilayah besar yang mempunyai persamaan bahasa, artifak, biologi dan sebagainya, lokasi paling berencam dan paling padat dengan unsur-unsur tersebut merupakan tempat amat besar kemungkinannya titik bermula unsur-unsur tersebut (bahasa, artifak, biologi dan sebagainya). Kata kunci Teori Sapir ialah ‘keberencaman’ dan ‘kepadatan.’ menanggapi hal ini penulis tertarik dengan tulisan Mohamed Anwar Omar Din dalam jurnal Melayu (Asal Usul Orang Melayu: Menulis Semula Sejarahnya) bahwasan apa pun bukti yang diajukan dan secanggih apapun metodologi penyelidikan yang digunakan serta dalam bidang mana sekali pun, baik bahasa, arkaeologi, antropologi, biologi maupun genetik atau forensik, adakah mungkin peristiwa yang terjadi berpuluh-puluh ribu tahun dapat dipastikan dengan jitu sedangkan peristiwa yang terjadi baru-baru saja masih dipertanyakan dan diperdebatkan kebenarannya, maka dari itu tidak ada satu pun bangsa di dunia yang dapat dipastikan asal-usulnya, seperti yang disampaikannya jika sekalipun ada kesamaan dalam berbagai hal mungkin saja memiliki kekerabatan tetapi tidak menunjukan atau menjelaskan tanah asal suatu bangsa? Untuk hal diatas juga terbantahkan dengan usia tengkorak dan fosil purbakala yang jauh lebih tua daripada di wilayah Cina, termasuk juga tulisan I-tsing (Yijing) pada abad ke-7 Masehi yang singgah ke Sumatra dari dan ke India-Cina (M Anwar, 2011). Kembali kepada kebenaran ataukah ketidak benaran teori-teori tersebut diatas masyarakat yang tinggal di Aliran Sungai Katingan tetaplah menyakini dan menjadikan pola kehidupan sejak turun temurun berdasaran apa yang dilakuan oleh leluhur mereka berdasarkan tuturan Tatu Hiang (leluhur).
Sebelum abad 14, daerah Aliran Sungai
Katingan termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah
lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu, dimana setiap suku
yang ada dipimpin oleh Kepala Suku/Bakas Lewu.
Hal itu dapat dilihat dari salah satu cerita yang melegenda yaitu cerita Kutat (nama
orang) yang badukuh (tinggal) di
Teluk Embak daerah Tasik Payawan
dalam cerita kepahlawanan tersebut Kutat adalah manusia yang luar biasa memiliki
kesaktian dan kekuatan hal tersebut dibuktikan pada masa itu Kutat tidak mandi
di Teluk Embak tetapi didalam Goa
daerah Kereng Balawan (daerah Baun
Bango sekarang) yang mana jika ditempuh oleh kita sekarang dengan mengunakan
perahu jarak tempuhnya ± 2 hari atau dengan mengunakan perahu mesin dengan
jarak tempuh ± 1 hari, tetapi bagi kutat hal itu sangatlah berbeda jika
perjalanan bolak-balik dari Teluk Embak ke goa tidaklah sempat kering rambun
bekas dia mandi diapun sampai ke tempat tinggalnya dari Goa, selain cerita
demikian masih banyak kelebihan lain yang dimiliki oleh Kutat dan kehidupanya
disaat itu yang masih meninggalkan bukti sampai saat ini (Sahak Sahan, 1996).
Selain cerita tentang Kutat yang melengendaris ada cerita lain yaitu Maharaja
Panduran atau sebelumnya dipanggil Temangung Panduran/Temangung Kahayan dari
Daerah Kahayan (Batang Danum Kahayan) yang diceritakan mengalamai musibah karam
dilaut luas dan bertemun serta ditolong oleh Pangkalima Madura yang akhirnya
karena membalas suara tandu ayam Pangkalima Madura secara adat harus berperang
padahal mereka tidak ingin berperang dalam ceritanya Pangkalima Madura
mengambil Badek (sejenis senjata) yang diberikan oleh Temangung Kahayan yang
seharus digunakan untuk membunuh Temangung tetapi ditusukkan kediri sendiri,
yang mana akhir cerita ini Temangung Paduran menikah dengan putri Raja dari
madura, dimana kemudia setelah memiliki anak Temangung kembali ke Batang Danum
Kahayan yang sekarang disebut Desa Manen Paduran, hal ini juga menurut Kusni
Sulang merupakan pembenaran atas buku-buku antropologi Eropa Barat bahwa
masyarakat Jawa bisa dan mampu mengolah besi menjadi senjata berasal dari
masyarakat Dayak hal itu juga diperkuat oleh diskusi antara Kusni Sulang dengan
seorang antropolog bernama Jan Avé di Paris Francis yang meneliti hal tersebut
(Kusni Sulang, 2010).
Beberapa hal lain yang tercetat mengenai
aliran sungai Katingan yang cukup tua diantaranya yaitu Kakawin Nagarakretagama yang awalnya disebut Desawarnana yang artinya Sejarah Desa-Desa yang ditulis oleh Dang Acarya Nadendra tahun September-Oktober 1365 Tahun Masehi (bulan Aswina tahun Saka 1287) didalamnya dijelaskan bahwa pada abad ke-14
wilayah negara-negara
di Pulau Tanjungnegara; Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin,
Sambas, Lawai merupakan salah satu wilayah Kerajaan
Majapahit. (Peningkatan
Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP), 2003). Hal lain yang memperkuat Kakawin
Nagarakretagama
adalah Hikayat Banjar didalamnya dijelaskan bahwa Pada abad ke-14 Maharaja
Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut
Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit,
Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau,
Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang mana masing-masing kepala
daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai (Slamet Mulya, 2003). Dalam paparan diatas menjelaskan
tentang adanya pengaruh Hindu-Budha terhadap berbagai kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat pribumi di Daerah Airan Sungai Katingan pada masa itu.
Berdasarkan
Hikayat Banjar bahwa pada abad ke-16 Katingan masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, di bawah kekuasaan Sultan Banjar
IV, Raja Marhum Panembahan (Raja Maruhum), wilayah Mendawai-Katingan merupakan
salah satu daerah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma
yang kemudian menjadi adipati/raja Kotawaringin menggantikan mertuanya Dipati
Ngganding yang wilayah kekuasaannya meliputi bagian barat Kalimantan Tengah
saat ini. Menurut Hikayat Banjar, pada masa itu Pelabuhan Mendawai merupakan
tempat transit para pedagang Banjarmasin jika hendak pergi berlayar menuju
negara Kesultanan Mataram di pulau Jawa (Peningkatan Kemampuan Peneliti dan
Perekayasa (PKPP), 2003). Dari paparan diatas bahwa adanya pengaruh Islam pada
masyarakat pribumi di Daerah Airan Sungai Katingan pada masa itu.
Menurut laporan
Radermacher, kepala daerah Mendawai/Katingan pada tahun 1780 adalah Kyai
Ingabei Suradi Raja, namun Pada tanggal 13 Agustus 1787, wilayah Katingan sudah
diserahkan Sultan Tahmidullah II kepada VOC Belanda, kemudian daerah ini
berkembang menjadi sebuah Distrik. Pada 2 Mei 1826 Sultan Adam dari Banjarmasin
menyerahkan landschap Mendawai (Katingan) kepada Hindia Belanda Penguasa
Mendawai dan Katingan selanjutnya secara bertahap dipimpin oleh oleh Djoeragan Kassim (1846), Abdolgani (1848),
Djoeragan Djenoe (1850), Jaksa kiai Pangoeloe Sitia, Maharaja (1851), Kiai Toeainkoe
Gembok (1859) Selanjutnya Demang Anoem Tjakra Dalam atau dikenal sebagai Demang
Anggen, dilantik oleh Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 10 Januari 1895 dan
mengepalai wilayah Mandawai (Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP), 2003). Pada masa
ini pengaruh kristen terlihat pada masyarakat pribumi di Daerah Airan Sungai
Katingan pada masa itu.
Konon sejak jaman penjajahan Belanda sampai
dengan tahun 1908-an di aliran Sungai Katingan terkenal dengan sebutan Lewu
Pulu, Lewu Pulu dimaksud adalah sepuluh kampung yang ada di aliran sungai
Katingan, ke sepuluh perkampungan yang termasuk ke dalam Lewu Pulu itu adalah :
Lewu Mendawei (Desa Mandawai), Lewu Handiwung Poso (Desa Handiwung), Lewu Luwuk
Penda Engkan (Desa Luwuk Bunter), Lewu Enyuh Lendai (Desa Kasongan), Lewu
Tewang Baringin Tingang (Desa Tewang Baringin), Lewu Tewang Sangalang (Desa
Pendahara), Lewu Tumbang Tarusan Tambun (Desa Tumbang Tarusan), Lewu Tewang Manyangen
Tingang (Desa Tewang Manyangen), Lewu Tewang Darayu Langit (Desa Tewang Darayu)
dan Lewu Oya Bawin Telok (Desa Telok). Karena pesatnya perubahan dan pertumbuhan kampung-kampung
tersebut, maka pemerintah Belanda menempatkan Kantor Pemerintahan yang disebut
Onderdistrictshoofd yang berkedudukan di Kasongan. Pada tahun 1930, Pemerintah
Onderdistrictshoofd pertama di Kasongan dimekarkan menjadi 2 (dua) buah, yaitu
: Onderdistrictshoofd Pagatan di Pagatan dan Onderdistrictshoofd Kasongan di
Kasongan.
Sejak tahun 1944, wilayah Katingan
bertambah menjadi 4 (empat) bagian Onderdistrictshoofd, yang terdiri dari :
- Onderdistrictshoofd Pagatan di Pagatan
- Onderdistrictshoofd Katingan Hilir di Kasongan
- Onderdistrictshoofd Tumbang Samba di Tumbang Samba
- Onderdistrictshoofd Tumbang Sanamang di Tumbang Sanamang
Pada tahun 1946, Pemerintahan
Onderdistrictshoofd diubah namanya menjadi Kecamatan yang terdiri dari :
- Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan
- Kecamatan Katingan Hilir di Kasongan
- Kecamatan Katingan Tengah di Tumbang Samba
- Kecamatan Katingan Hulu di Tumbang Sanamang
Kala itu, wilayah Katingan termasuk
propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan (sebelum terbentuknya propinsi
Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah tahun 1957) dan berada dalam wilayah Daerah
Tingkat II Kotawaringin Timur sebelum dimekarkan menjadi Kotawaringin Timur dan
Kotawaringin Barat.
Pada tahun 1958 Kecamatan Katingan
Hilir dengan ibukota Kasongan dimekarkan menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu
kecamatan Katingan Hilir di Kasongan dan Kecamatan Tasik Payawan di Petak
Bahandang. Tahun 1961, karena perkembangan di wilayah Katingan dibentuk
Kewedanaan yang bernama Kewedanaan Sampit Timur, dengan wilayah kerjanya
terdiri dari 3 (tiga) kecamatan yaitu kecamatan Katingan Kuala di Pagatan,
Kecamatan Tasik Payawan di petak Bahandang, dan Kecamatan Katingan Hilir di
Kasongan. Sedangkan Kecamatan Katingan Tengah dan Kecamatan Tumbang Sanamang
pada saat itu termasuk Kewedanaan Sampit Timur di Kuala Kuayan.
Pada tahun 1962, pada tanggal 8
Januari 1962, dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Kalimantan Tengah Nomor : 1/Pem.17-C-2-3, menyatakan bahwa terhitung tanggal 1
Januari 1962 wilayah Katingan ditingkatkan statusnya sebagai “daerah Persiapan
Kabupaten Katingan” dengan ibukota Kasongan dan wilayahnya meliputi DAS
Katingan.
Sekitar bulan Februari 1965 tejadi
pemekaran kecamatan-kecamatan di wilayah Katingan, yaitu :
- Kecamatan Katingan Kuala dimekarkan menjadi Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan dan Kecamatan Kamipang di Baun Bang
- Kecamatan Katingan Hilir dimekarkan menjadi kecamatan Tasik Payawan di Petak Bahandang dan kecamatan Pulau Malan di Buntut Bali
- Kecamatan Katingan Tengah dimekarkan menjadi kecamatan Katingan Tengah di Tumbang Samba dan kecamatan Sanaman Mantikei di Tumbang Kaman
- Kecamatan Katingan Hulu dimekarkan menjadi kecamatan Katingan Hulu di Tumbang Sanamang dan kecamatan Marikit di Tumbang Hiran.
Pada tanggal 24 April 1965, dengan
Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor :
6/Pem.290-C-4 menyatakan bahwa terhitung tanggal 1 Januari 1965 wilayah
Katingan yang berstatus sebagai daerah persiapan Kabupaten diubah status atau
namanya menjadi “Daerah Administratif Katingan” dengan ibukota Kasongan.
Pada tahun 1979, pemerintah Pembantu
Bupati Kotawaringin Timur dibentuk sebagai perubahan nama dari Kabupaten
Administratif Katingan berdasarkan :
- SK Menteri Dalam Negeri Nomor : 64 tahun 1979 tanggal 28 April 1979 tentang pembentukan wilayah kerja Pembantu Bupati Kapuas untuk Gunung Mas, Pembantu Bupati Kotawaringin Timur untuk wilayah Katingan dan Seruyan, Pembantu Bupati Barito Utara untuk Murung Raya dan Pembantu Bupati Barito Timur di Tamiang Layang.
- SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor : 148/KPTS/1979 tanggal 28 Juni 1979 tentang penghapusan status wilayah dan Kantor Daerah Tingkat II Administratif Gunung Mas, Katingan, Murung Raya, Barito Timur serta status wilayah dan Kantor Persiapan Daerah Tingkat II Seruyan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor : 42 tahun 1996 Kecamatan Katingan Kuala dimekarkan menjadi 2 (dua)
kecamatan, yaitu : Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan dan Kecamatan Mendawai
di Mendawai. Sehingga Pembantu Bupati Kotim wilayah Katingan terdiri dari 11
(sebelas) kecamatan :
1. Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan
2. Kecamatan Mendawai di Mendawai
3. Kecamatan Kamipang di Baun Bango
4. Kecamatan Tasik Payawan di Petak
Bahandang
5. Kecamatan Katingan Hilir di Kasongan
6. Kecamatan Tewang Sanggalang Garing di
Pendahara
7. Kecamatan Pulau Malan di Buntut Bali
8. Kecamatan Katingan Tengah di Tumbang
Samba
9. Kecamatan Sanaman Mantikei di Tumbang
Kaman
10.Kecamatan Marikit di Tumbang Hiran
11.Kecamatan Katingan Hulu di Tumbang
Sanamang
Atas usul Pemerintah Daerah Tingkat
II Kotawaringin Timur (Kotim) dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) DPRD
Tingkat II Kotim Nomor : 25/KPTS-DPRD/6/1997, tentang persetujuan peningkatan
status Pembantu Bupati Kotim wilayah Katingan menjadi kabupaten definitive.
Sejak itu muncullah berbagai aspirasi
dan desakan dari berbagai unsur masyarakat untuk memperjuangkan pembentukan
Kabupaten Katingan, sehingga dibentuklah Badan Persiapan Pembentukan Kabupaten
(BPPK) Katingan yang berkedudukan di Kasongan.
Keinginan pembentukan Kabupaten Katingan yang tumbuh dari masyarakat tersebut
mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Kotim dan disetujui oleh DPRD Kotim
yang berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten Kotim nomor : 13/KPTS-DPRD/6/2000
tanggal 6 Januari 2000 tentang persetujuan penetapan pemekaran kabupaten Kotim
dan revisi nama serta pembagian wilayah kecamatan kemudian diteruskan kepada
Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kalimantan Tengah dan dilanjutkan dengan
Surat Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 135/1963/PEM tanggal 6 Agustus 1999
dan Nomor : 1356/II/PEM tanggal 31 Desember 1999.
Perjuangan tersebut dilanjutkan
sehingga keluarlah Keputusan DPRD Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 8 Tahun 2000
tanggal 31 Juli 2000 tentang penetapan Pemekaran Kabupaten/Kota di Propinsi
Kalimantan Tengah, diteruskan oleh Gubernur Kalimantan Tengah kepada Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Surat Nomor : 135/1172/PEM Tanggal 4
Desember 2000.
Sekitar bulan Januari 2001 Pembantu
Bupati Kotim wilayah Katingan dibubarkan, namun perjuangan menuju Kabupaten
tetap dilanjutkan oleh Pemerintah Kabupaten Kotim.
Atas desakan dan tuntutan semua unsur masyarakat dan dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah setempat, disusunlah Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukan Kabupaten dan diajukan kepada DPR RI, dibahas dan puncaknya tanggal 10 April 2002 ditetapkan RUU nomor 5 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 yang diundangkan dalam lembaran negara tahun 2002 Nomor : 18 yang diresmikan pada tanggal 2 Juli 2002 di Jakarta.
Atas desakan dan tuntutan semua unsur masyarakat dan dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah setempat, disusunlah Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukan Kabupaten dan diajukan kepada DPR RI, dibahas dan puncaknya tanggal 10 April 2002 ditetapkan RUU nomor 5 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 yang diundangkan dalam lembaran negara tahun 2002 Nomor : 18 yang diresmikan pada tanggal 2 Juli 2002 di Jakarta.
Pelaksanaan UU nomor : 5 tahun 2002
tentang Pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara,
Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten
Murung Raya, dan Kabupaten Barito Timur di Propinsi Kalimantan Tengah, ditandai
dengan peresmian Kabupaten Katingan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2002. Pada
tanggal 8 Juli 2002 pelantikan Pejabat Bupati Katingan di Palangka Raya oleh
Gubernur Kalimantan Tengah atas nama Menteri Dalam Negeri; dan dilantiknya
anggota DPRD Kabupaten Katingan periode pertama tanggal 21 Januari 2003 di
Kasongan.
Pada tanggal 20 Juli 2002 acara peletakan dan penyerahan batu prasasti sekaligus upacara syukuran rakyat atas terbentuknya Kabupaten Katingan yang dilaksanakan di Kasongan (BAPEDA, 2009).
Pada tanggal 20 Juli 2002 acara peletakan dan penyerahan batu prasasti sekaligus upacara syukuran rakyat atas terbentuknya Kabupaten Katingan yang dilaksanakan di Kasongan (BAPEDA, 2009).
Sejarah perkembangan agama dan kebudayaan di
Aliran Sungai Katingan juga sama halnya dengan perkembangan kebudayaan dan
agama di Kalimantan Tengah yaitu pada awalnya penduduk mempunyai ciri khas
kebudayaan dan spiritual yang berkembang yang dipengaruhi oleh agama helu,
agama tatu hiang yang sekarang ini lebih dikenal dengan Kaharingan dan setelah
berintegrasi dengan Hindu dikenal dengan sebutan Hindu Kaharingan secara garis
besar integarisi keduanya pada tahun 1980 tidak menghilangkan Kearifan Lokal
yang dimiliki oleh Kaharingan.
2 comments:
Mohon info admin,disini saya ingin bertanya..?sejak kapan kah berdiri nya kelurahan samba kahayan,kecamatan katingan tengah,tumbang samba,,terimakasih🙏
mohon kepada admin tolong diposting juga profil desa samba katung
Post a Comment