Gambar

Gambar
SELAMAT MEMBACA,HATAMUEI LINGGU NALANTAI HAPANGAJA KARENDEM MALEMPANG

04 July 2014

KATINGAN DOLOE DAN SEKARANG


Kasongan (Kecematan Katingan Hilir)
Dalam urai awal ini mengungkapkan asal-usul nenek moyang berdasarkan tanturan/cerita dari zaman dahulu tentang Raja Bunu dan istrinya Kameluh Tanteluh Petak beserta dengan anak-anaknya yang berasal dari khayangan (langit) dan diturunkan oleh Tuhan (Ranying Hatalla) dengan Palangka Bulau Lambayung Nyahu dari  Lewu Bukit Tambak Raja (Khayangan Lagit Lapisan Pertama) di Tumbang Lawang Langit ke dunia, yaitu di puncak Tantan Bukit Samatuan yang kemudian dari puncak bukit tersebut mereka membagi dan berkembang keseluruh dunia (Panaturan, 1985). Secara tertulis mengenai perkembangan penyebaran keturunan Raja Bunu di Aliran Sungai Katingan sampai saat ini masih belum bisa ditemukan karena belum dijumpainya aksara dalam bahasa leluhur yaitu Bahasa Sangiang termasuk artefak atau batu bertulis yang berasal dari masyarakat Pribumi yang ada hanyalah bahasa lisan sebelum masuknya adat dan budaya Hindu-Budha, Islam dan Kristiani pada masa-masanya.
Sekalipun demikian banyak para ahli yang tertarik untuk mengungkapkan asal usul masyarakat Nusantara termasuk didalamnya suku Bangsa Dayak Ngaju dan O’ot Danum yang banyak mendiami aliran Sungai Katingan yang salah satunya adalah Robert Heine van Geldern dan Bellwood Menurut beliau, penghijrahan petani dari Taiwan itu ke Asia Tenggara adalah kira-kira 2000 Sebelum Masihi (6000 tahun lalu) Menurut beliau, ‘bukti’ teori ini adalah serpihan tembikar (potsherd), tulang anjing, alat batu, pisau mengetam (reaping knives), beras dan sekoi (millets). Menurut beliau bahan-bahan ini hanya ditemui di Taiwan dan Asia Tenggara. Sehingga akhirnya disimpulkan bahwa Taiwan merupakan tanah asal nenek moyang rumpun penutur bahasa Austronesia kerana jumpaan bahan-bahan tersebut paling berencam dan paling padat di tempat itu, teori ini didasarkan pada Teori yang diajukan oleh Edward Sapir (1916) Menurutnya, dalam
sesebuah wilayah besar yang mempunyai persamaan bahasa, artifak, biologi dan sebagainya, lokasi paling berencam dan paling padat dengan unsur-unsur tersebut merupakan tempat amat besar kemungkinannya titik bermula unsur-unsur tersebut (bahasa, artifak, biologi dan sebagainya). Kata kunci Teori Sapir ialah ‘keberencaman’ dan ‘kepadatan.’ menanggapi hal ini penulis tertarik dengan tulisan Mohamed Anwar Omar Din dalam jurnal Melayu (Asal Usul Orang Melayu: Menulis Semula Sejarahnya) bahwasan apa pun bukti yang diajukan dan secanggih apapun metodologi penyelidikan yang digunakan serta dalam bidang mana sekali pun, baik bahasa, arkaeologi, antropologi, biologi maupun genetik atau forensik, adakah mungkin peristiwa yang terjadi berpuluh-puluh ribu tahun dapat dipastikan dengan jitu sedangkan peristiwa yang terjadi baru-baru saja masih dipertanyakan dan diperdebatkan kebenarannya, maka dari itu tidak ada satu pun bangsa di dunia yang dapat dipastikan asal-usulnya, seperti yang disampaikannya jika sekalipun ada kesamaan dalam berbagai hal mungkin saja memiliki kekerabatan tetapi tidak menunjukan atau menjelaskan tanah asal suatu bangsa? Untuk hal diatas juga terbantahkan dengan usia tengkorak dan fosil purbakala yang jauh lebih tua daripada di wilayah Cina, termasuk juga tulisan I-tsing (Yijing) pada abad ke-7 Masehi yang singgah ke Sumatra dari dan ke India-Cina (M Anwar, 2011). Kembali kepada kebenaran ataukah ketidak benaran teori-teori tersebut diatas masyarakat yang tinggal di Aliran Sungai Katingan tetaplah menyakini dan menjadikan pola kehidupan sejak turun temurun berdasaran apa yang dilakuan oleh leluhur mereka berdasarkan tuturan Tatu Hiang (leluhur).
Sebelum abad 14, daerah Aliran Sungai Katingan termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu, dimana setiap suku yang ada dipimpin oleh Kepala Suku/Bakas Lewu. Hal itu dapat dilihat dari salah satu cerita yang melegenda yaitu cerita Kutat (nama orang) yang badukuh (tinggal) di Teluk Embak daerah Tasik Payawan dalam cerita kepahlawanan tersebut Kutat adalah manusia yang luar biasa memiliki kesaktian dan kekuatan hal tersebut dibuktikan pada masa itu Kutat tidak mandi di Teluk Embak tetapi didalam Goa daerah Kereng Balawan (daerah Baun Bango sekarang) yang mana jika ditempuh oleh kita sekarang dengan mengunakan perahu jarak tempuhnya ± 2 hari atau dengan mengunakan perahu mesin dengan jarak tempuh ± 1 hari, tetapi bagi kutat hal itu sangatlah berbeda jika perjalanan bolak-balik dari Teluk Embak ke goa tidaklah sempat kering rambun bekas dia mandi diapun sampai ke tempat tinggalnya dari Goa, selain cerita demikian masih banyak kelebihan lain yang dimiliki oleh Kutat dan kehidupanya disaat itu yang masih meninggalkan bukti sampai saat ini (Sahak Sahan, 1996). Selain cerita tentang Kutat yang melengendaris ada cerita lain yaitu Maharaja Panduran atau sebelumnya dipanggil Temangung Panduran/Temangung Kahayan dari Daerah Kahayan (Batang Danum Kahayan) yang diceritakan mengalamai musibah karam dilaut luas dan bertemun serta ditolong oleh Pangkalima Madura yang akhirnya karena membalas suara tandu ayam Pangkalima Madura secara adat harus berperang padahal mereka tidak ingin berperang dalam ceritanya Pangkalima Madura mengambil Badek (sejenis senjata) yang diberikan oleh Temangung Kahayan yang seharus digunakan untuk membunuh Temangung tetapi ditusukkan kediri sendiri, yang mana akhir cerita ini Temangung Paduran menikah dengan putri Raja dari madura, dimana kemudia setelah memiliki anak Temangung kembali ke Batang Danum Kahayan yang sekarang disebut Desa Manen Paduran, hal ini juga menurut Kusni Sulang merupakan pembenaran atas buku-buku antropologi Eropa Barat bahwa masyarakat Jawa bisa dan mampu mengolah besi menjadi senjata berasal dari masyarakat Dayak hal itu juga diperkuat oleh diskusi antara Kusni Sulang dengan seorang antropolog bernama Jan Avé di Paris Francis yang meneliti hal tersebut (Kusni Sulang, 2010).
Beberapa hal lain yang tercetat mengenai aliran sungai Katingan yang cukup tua diantaranya yaitu Kakawin Nagarakretagama yang awalnya disebut Desawarnana yang artinya Sejarah Desa-Desa yang ditulis oleh Dang Acarya Nadendra tahun September-Oktober 1365 Tahun Masehi (bulan Aswina tahun Saka 1287) didalamnya dijelaskan bahwa pada abad ke-14 wilayah negara-negara di Pulau Tanjungnegara; Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai merupakan salah satu wilayah Kerajaan Majapahit. (Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP), 2003). Hal lain yang memperkuat Kakawin Nagarakretagama adalah Hikayat Banjar didalamnya dijelaskan bahwa Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang mana masing-masing kepala daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai (Slamet Mulya, 2003). Dalam paparan diatas menjelaskan tentang adanya pengaruh Hindu-Budha terhadap berbagai kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat pribumi di Daerah Airan Sungai Katingan pada masa itu.
Berdasarkan Hikayat Banjar bahwa pada abad ke-16 Katingan masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, di bawah kekuasaan Sultan Banjar IV, Raja Marhum Panembahan (Raja Maruhum), wilayah Mendawai-Katingan merupakan salah satu daerah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma yang kemudian menjadi adipati/raja Kotawaringin menggantikan mertuanya Dipati Ngganding yang wilayah kekuasaannya meliputi bagian barat Kalimantan Tengah saat ini. Menurut Hikayat Banjar, pada masa itu Pelabuhan Mendawai merupakan tempat transit para pedagang Banjarmasin jika hendak pergi berlayar menuju negara Kesultanan Mataram di pulau Jawa (Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP), 2003). Dari paparan diatas bahwa adanya pengaruh Islam pada masyarakat pribumi di Daerah Airan Sungai Katingan pada masa itu.
Menurut laporan Radermacher, kepala daerah Mendawai/Katingan pada tahun 1780 adalah Kyai Ingabei Suradi Raja, namun Pada tanggal 13 Agustus 1787, wilayah Katingan sudah diserahkan Sultan Tahmidullah II kepada VOC Belanda, kemudian daerah ini berkembang menjadi sebuah Distrik. Pada 2 Mei 1826 Sultan Adam dari Banjarmasin menyerahkan landschap Mendawai (Katingan) kepada Hindia Belanda Penguasa Mendawai dan Katingan selanjutnya secara bertahap dipimpin oleh oleh  Djoeragan Kassim (1846), Abdolgani (1848), Djoeragan Djenoe (1850), Jaksa kiai Pangoeloe Sitia, Maharaja (1851), Kiai Toeainkoe Gembok (1859) Selanjutnya Demang Anoem Tjakra Dalam atau dikenal sebagai Demang Anggen, dilantik oleh Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 10 Januari 1895 dan mengepalai wilayah Mandawai (Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP), 2003). Pada masa ini pengaruh kristen terlihat pada masyarakat pribumi di Daerah Airan Sungai Katingan pada masa itu.
Konon sejak jaman penjajahan Belanda sampai dengan tahun 1908-an di aliran Sungai Katingan terkenal dengan sebutan Lewu Pulu, Lewu Pulu dimaksud adalah sepuluh kampung yang ada di aliran sungai Katingan, ke sepuluh perkampungan yang termasuk ke dalam Lewu Pulu itu adalah : Lewu Mendawei (Desa Mandawai), Lewu Handiwung Poso (Desa Handiwung), Lewu Luwuk Penda Engkan (Desa Luwuk Bunter), Lewu Enyuh Lendai (Desa Kasongan), Lewu Tewang Baringin Tingang (Desa Tewang Baringin), Lewu Tewang Sangalang (Desa Pendahara), Lewu Tumbang Tarusan Tambun (Desa Tumbang Tarusan), Lewu Tewang Manyangen Tingang (Desa Tewang Manyangen), Lewu Tewang Darayu Langit (Desa Tewang Darayu) dan Lewu Oya Bawin Telok (Desa Telok). Karena pesatnya perubahan dan pertumbuhan kampung-kampung tersebut, maka pemerintah Belanda menempatkan Kantor Pemerintahan yang disebut Onderdistrictshoofd yang berkedudukan di Kasongan. Pada tahun 1930, Pemerintah Onderdistrictshoofd pertama di Kasongan dimekarkan menjadi 2 (dua) buah, yaitu : Onderdistrictshoofd Pagatan di Pagatan dan Onderdistrictshoofd Kasongan di Kasongan. 
Sejak tahun 1944, wilayah Katingan bertambah menjadi 4 (empat) bagian Onderdistrictshoofd, yang terdiri dari :
  1. Onderdistrictshoofd Pagatan di Pagatan
  2. Onderdistrictshoofd Katingan Hilir di Kasongan
  3. Onderdistrictshoofd Tumbang Samba di Tumbang Samba
  4. Onderdistrictshoofd Tumbang Sanamang di Tumbang Sanamang
Pada tahun 1946, Pemerintahan Onderdistrictshoofd diubah namanya menjadi Kecamatan yang terdiri dari :
  1. Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan
  2. Kecamatan Katingan Hilir di Kasongan
  3. Kecamatan Katingan Tengah di Tumbang Samba
  4. Kecamatan Katingan Hulu di Tumbang Sanamang
Kala itu, wilayah Katingan termasuk propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan (sebelum terbentuknya propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah tahun 1957) dan berada dalam wilayah Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur sebelum dimekarkan menjadi Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat.
Pada tahun 1958 Kecamatan Katingan Hilir dengan ibukota Kasongan dimekarkan menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu kecamatan Katingan Hilir di Kasongan dan Kecamatan Tasik Payawan di Petak Bahandang. Tahun 1961, karena perkembangan di wilayah Katingan dibentuk Kewedanaan yang bernama Kewedanaan Sampit Timur, dengan wilayah kerjanya terdiri dari 3 (tiga) kecamatan yaitu kecamatan Katingan Kuala di Pagatan, Kecamatan Tasik Payawan di petak Bahandang, dan Kecamatan Katingan Hilir di Kasongan. Sedangkan Kecamatan Katingan Tengah dan Kecamatan Tumbang Sanamang pada saat itu termasuk Kewedanaan Sampit Timur di Kuala Kuayan.
Pada tahun 1962, pada tanggal 8 Januari 1962, dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor : 1/Pem.17-C-2-3, menyatakan bahwa terhitung tanggal 1 Januari 1962 wilayah Katingan ditingkatkan statusnya sebagai “daerah Persiapan Kabupaten Katingan” dengan ibukota Kasongan dan wilayahnya meliputi DAS Katingan.
Sekitar bulan Februari 1965 tejadi pemekaran kecamatan-kecamatan di wilayah Katingan, yaitu :
  1. Kecamatan Katingan Kuala dimekarkan menjadi Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan dan Kecamatan Kamipang di Baun Bang
  2. Kecamatan Katingan Hilir dimekarkan menjadi kecamatan Tasik Payawan di Petak Bahandang dan kecamatan Pulau Malan di Buntut Bali
  3. Kecamatan Katingan Tengah dimekarkan menjadi kecamatan Katingan Tengah di Tumbang Samba dan kecamatan Sanaman Mantikei di Tumbang Kaman
  4. Kecamatan Katingan Hulu dimekarkan menjadi kecamatan Katingan Hulu di Tumbang Sanamang dan kecamatan Marikit di Tumbang Hiran.
Pada tanggal 24 April 1965, dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor : 6/Pem.290-C-4 menyatakan bahwa terhitung tanggal 1 Januari 1965 wilayah Katingan yang berstatus sebagai daerah persiapan Kabupaten diubah status atau namanya menjadi “Daerah Administratif Katingan” dengan ibukota Kasongan.
Pada tahun 1979, pemerintah Pembantu Bupati Kotawaringin Timur dibentuk sebagai perubahan nama dari Kabupaten Administratif Katingan berdasarkan :
  1. SK Menteri Dalam Negeri Nomor : 64 tahun 1979 tanggal 28 April 1979 tentang pembentukan wilayah kerja Pembantu Bupati Kapuas untuk Gunung Mas, Pembantu Bupati Kotawaringin Timur untuk wilayah Katingan dan Seruyan, Pembantu Bupati Barito Utara untuk Murung Raya dan Pembantu Bupati Barito Timur di Tamiang Layang.
  2. SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor : 148/KPTS/1979 tanggal 28 Juni 1979 tentang penghapusan status wilayah dan Kantor Daerah Tingkat II Administratif Gunung Mas, Katingan, Murung Raya, Barito Timur serta status wilayah dan Kantor Persiapan Daerah Tingkat II Seruyan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 42 tahun 1996 Kecamatan Katingan Kuala dimekarkan menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu : Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan dan Kecamatan Mendawai di Mendawai. Sehingga Pembantu Bupati Kotim wilayah Katingan terdiri dari 11 (sebelas) kecamatan :
1.  Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan
2.  Kecamatan Mendawai di Mendawai
3.  Kecamatan Kamipang di Baun Bango
4.  Kecamatan Tasik Payawan di Petak Bahandang
5.  Kecamatan Katingan Hilir di Kasongan
6.  Kecamatan Tewang Sanggalang Garing di Pendahara
7.  Kecamatan Pulau Malan di Buntut Bali
8.  Kecamatan Katingan Tengah di Tumbang Samba
9.  Kecamatan Sanaman Mantikei di Tumbang Kaman
10.Kecamatan Marikit di Tumbang Hiran
11.Kecamatan Katingan Hulu di Tumbang Sanamang
Atas usul Pemerintah Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur (Kotim) dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) DPRD Tingkat II Kotim Nomor : 25/KPTS-DPRD/6/1997, tentang persetujuan peningkatan status Pembantu Bupati Kotim wilayah Katingan menjadi kabupaten definitive.
Sejak itu muncullah berbagai aspirasi dan desakan dari berbagai unsur masyarakat untuk memperjuangkan pembentukan Kabupaten Katingan, sehingga dibentuklah Badan Persiapan Pembentukan Kabupaten (BPPK) Katingan yang berkedudukan di Kasongan.
Keinginan pembentukan Kabupaten Katingan yang tumbuh dari masyarakat tersebut mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Kotim dan disetujui oleh DPRD Kotim yang berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten Kotim nomor : 13/KPTS-DPRD/6/2000 tanggal 6 Januari 2000 tentang persetujuan penetapan pemekaran kabupaten Kotim dan revisi nama serta pembagian wilayah kecamatan kemudian diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kalimantan Tengah dan dilanjutkan dengan Surat Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 135/1963/PEM tanggal 6 Agustus 1999 dan Nomor : 1356/II/PEM tanggal 31 Desember 1999.
Perjuangan tersebut dilanjutkan sehingga keluarlah Keputusan DPRD Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 8 Tahun 2000 tanggal 31 Juli 2000 tentang penetapan Pemekaran Kabupaten/Kota di Propinsi Kalimantan Tengah, diteruskan oleh Gubernur Kalimantan Tengah kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Surat Nomor : 135/1172/PEM Tanggal 4 Desember 2000.
Sekitar bulan Januari 2001 Pembantu Bupati Kotim wilayah Katingan dibubarkan, namun perjuangan menuju Kabupaten tetap dilanjutkan oleh Pemerintah Kabupaten Kotim.
Atas desakan dan tuntutan semua unsur masyarakat dan dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah setempat, disusunlah Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukan Kabupaten dan diajukan kepada DPR RI, dibahas dan puncaknya tanggal 10 April 2002 ditetapkan RUU nomor 5 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 yang diundangkan dalam lembaran negara tahun 2002 Nomor : 18 yang diresmikan pada tanggal 2 Juli 2002 di Jakarta.
Pelaksanaan UU nomor : 5 tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Barito Timur di Propinsi Kalimantan Tengah, ditandai dengan peresmian Kabupaten Katingan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2002. Pada tanggal 8 Juli 2002 pelantikan Pejabat Bupati Katingan di Palangka Raya oleh Gubernur Kalimantan Tengah atas nama Menteri Dalam Negeri; dan dilantiknya anggota DPRD Kabupaten Katingan periode pertama tanggal 21 Januari 2003 di Kasongan.
Pada tanggal 20 Juli 2002 acara peletakan dan penyerahan batu prasasti sekaligus upacara syukuran rakyat atas terbentuknya Kabupaten Katingan yang dilaksanakan di Kasongan (BAPEDA, 2009).
 
Sejarah perkembangan agama dan kebudayaan di Aliran Sungai Katingan juga sama halnya dengan perkembangan kebudayaan dan agama di Kalimantan Tengah yaitu pada awalnya penduduk mempunyai ciri khas kebudayaan dan spiritual yang berkembang yang dipengaruhi oleh agama helu, agama tatu hiang yang sekarang ini lebih dikenal dengan Kaharingan dan setelah berintegrasi dengan Hindu dikenal dengan sebutan Hindu Kaharingan secara garis besar integarisi keduanya pada tahun 1980 tidak menghilangkan Kearifan Lokal yang dimiliki oleh Kaharingan.

2 comments:

Unknown said...

Mohon info admin,disini saya ingin bertanya..?sejak kapan kah berdiri nya kelurahan samba kahayan,kecamatan katingan tengah,tumbang samba,,terimakasih🙏

Unknown said...

mohon kepada admin tolong diposting juga profil desa samba katung