D
|
alam sejarah lisan suku Dayak Maanyan, Nansarunai adalah
sebuah kerajaan pada saat suku Dayak Maanyan mengalami puncak kejayaannya
diperkirakan berlangsung sepanjang paroh abad ke 14(1309-1358). Berdasarkan
penuturan beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat Dayak Maanyan, kerajaan
Nansarunai pernah berdiri di sekitar Candi Agung, Pasar Arba(Amuntai, Kab. Hulu
Sungai Utara). Pada awalnya Nansarunai dipimpin oleh Dato Sapuluh dan Dara
Sapuluh, yang kemudian berturut-turut dipimpin oleh Raden Japutar Layar dan
dibantu oleh para Uria dan Patis. Setelah itu Raden Japutar Layar diganti oleh
Raden Neno, dan raja Nansarunai yang ketiga dan terakhir bernama Raden
Anyan(Ammah Jarang) atau dengan gelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Bapangkat
Amas. Digambarkan, Kerajaan Nansarunai adalah sebuah kota bandar yang
sangat ramai, kaya raya, dan sekaligus sebagai kota budaya. Sebagai kota
Bandar, Nansarunai berada ditepi sebuah sungai besar, dimana setiap harinya
kapal-kapal asing selalu bersandar di Nansarunai untuk membeli hasil hutan,
pertanian, dan perkebunan. Di lukiskan dalam bahasa Maanyan bagaimana banyaknya
kapal yang bersandar di bandar Nansarunai: tihang ajung nyalah hannar
pungur, tali dandan nimbang rerep uei(tiang layar kapal bagaikan
pepohonan, tali temali layar kapal bagaikan rotan). Di samping kapal-kapal Cina,
Melayu, Arab, juga ada kapal-kapal dari Majapahit yang sering bersandar di
bandar Nansarunai. Sebagai kota budaya, Nansarunai tidak pernah sepi dari
pertunjukan budaya dan acara menyabung ayam di manguntur. Dikatakan pula oleh
penutur, bahwa banyak sekali tamu asing yang ikut menyaksikan pertunjukan seni
dan budaya serta sabung ayam, baik pada siang maupun malam hari. Keramaian di
manguntur juga sering dilukiskan seperti ini: manguntur nyalah harek jatuh,
kudalangun alang rakeh riwo.(manguntur selalu riuh rendah bagaikan suara
ratusan orang).
Namun pada saat kerajaan Nansarunai sedang berada pada puncak
kejayaannya pada tahun 1358, Nansarunai mengalami kehancuran. Ada dua versi
penyebab jatuhnya Kerajaan Nansarunai tersebut. Versi pertama mengatakan bahwa
hancurnya Nansarunai adalah akibat diserang oleh prajurit Majapahit, sebagai
upaya mereka untuk menakluk Nansarunai karena kaya akan hasil buminya dan
dianggap membahayakan kerajaan Majapahit yang berada di Pulau Jawa. Akibat dari
hancurnya Nansarunai itu, semua bangunan kerajaan, manguntur dan rumah penduduk
habis terbakar, sehingga alat-alat perlengkapan upacara adat dan benda-benda
budaya habis dirampas oleh prajurit Majapahit. Raja Raden Anyan(Ambah Jarang)
pun ikut meninggal dunia bersama beberapa penduduk yang belum sempat melarikan
diri. Yang masih hidup hanya tinggal beberapa tokoh masyarakat dan tujuh
pimpinan adat(Uria Pitu). Tentang hancurnya Nansarunai itu, dilukiskan
dalam bahasa Maanyan: Tuu riu mate erang ngakatanjung taping, ngulin ranu rueh
lakarantau hanyut. Daya Nansarunai takam galis kuta apui, ngamang talam haut
jarah sia tutung. Manguntur takam galis eme angang, kudalangun takam jarah maku
lungkang(Air mata tak tertampung lagi banyaknya mengenang Nansarunai habis
dilalap api dan manguntur telah ditumbuhi oleh rerumputan). Hancurnya
Nansarunai yang dibangga-banggakan itu dikenal di kalangan Dayak Maanyan
dengan: Nansarunai usak Jawa. Artinya Nansarunai diserang oleh
orang-orang dari pulau Jawa(maksudnya prajurit Majapahit). Versi kedua,
jatuhnya Nansarunai adalah akibat terdesak oleh pendatang baru, khususnya suku
Melayu yang semakin hari semakin banyak dan membawa adat-istiadat dan
kepercayaan yang berbeda. Karena ketidakcocokan tersebut akhirnya suku Dayak
Maanyan semakin terdesak dari Nansarunai ke pedalaman, tepatnya daerah
Kabupaten Barito Timur saat ini.
Cerita tentang Nansarunai Usak Jawa ini tidak mudah
dilupakan oleh Dayak Maanyan, karena Nansarunai telah mengukir sejarah dan
kenangan yang sulit untuk dilupakan. Kita boleh sangsi tentang keberadaan
Nansarunai, namun cerita tentang Nansarunai Usak Jawa selalu
terdengar lewat hiang wadian(shaman chants) tumet leut, enra janyawai(tradisional
songs) dan ngalakar(oral history) pada upacara perkawinan dan kematian.
Atau sering pula disinggung dalam percakapan sehari-hari untuk mengingatkan
anak-anak muda agar mereka tidak melupakan sejarah. Setiap saat orang Maanyan
selalu diingatkan lewat sejarah lisan dan lagu-lagu tradisional bahwa
Nansarunai adalah kerajaan Dayak Maanyan tempo dulu yang sangat megah, kaya
raya, mewah, indah dan jaya. Seringkali dalam lagu-lagu daerah yang dinyanyikan
pada saat acara Turus Tajak(perkawinan) terlukis adanya keinginan
kolektif orang Maanyan untuk kembali ke masa lalu dan membangun kembali
Nansarunai yang sudah hancur berantakan tersebut. Misalnya: Ekat hantek awe
unru datu hawi mamurentah, ungken pita mahuraja jaku nawu lengan. Nampan
Nansarunai takam mudi kalamula, ngamang talam takam mantuk alang ire.
(Kapan orang Maanyan yang pintar datang menjadi pemimpin, agar Nansarunai kita
dapat dibangun kembali).
Setelah jatuhnya Nansarunai, akhirnya tujuh pimpinan adat(Uria
Pitu) memutuskan untuk berpisah dan pergi ke tempat-tempat yang berbeda.
Menurut penuturan bahwa:
Uria Dambung Napulangit pergi ke Telang-Siong(Paju Epat).
Uria Rena (Uria Mapas) pergi ke daerah Paju Dime dan Paju
Sapuluh
Uria Rantau pergi ke daerah Paku Karau(Dusun Tengah)
Uria Biring pergi ke daerah Dayu
Uria Ponneh pergi ke daerah Barito( Dusun, Taboyan, dan Lawangan)
Uria Pulanggiwa pergi ke daerah Kapuas dan Kahayan
Uria Buman pergi ke Kalimantan Selatan(Tabalong, Rantau dan
Kayutangi).
Menurut ceritanya, masing-masing Uria ini membawa Hukum Adat yang
berlaku di Nansarunai. Namun karena perjalanan waktu dan kondisi sosial dimana
mereka berada, banyak diantara Uria itu menyesuaikan pelaksanaan Hukum Adat
yang mereka bawa. Dari ketujuh Uria itu, hanya Uria Dambung Napulangit yang
tetap konsisten melaksanakan hukum adat Nansarunai seperti ijambe, setibanya di
daerah Paju Epat. Sebagai akibat dari perpisahan Uria Pitu tersebut, maka suku
Dayak Maanyan pun terbagi ke dalam empat sub suku, yaitu: Maanyan Paju Epat;
Maanyan Paju Sapuluh, Maanyan Paju Dime dan Maanyan Paku Karau. Kendatipun ada
empat pembagian sub suku demikian, tetapi kesatuan dan persatuan diantara
mereka tetap kental dan dipelihara dengan baik. Sebagai bukti, pipakatan
itu dapat dilihat pada Kerukunan Warga Dusun, Maanyan dan Lawangan di Kota
Palangka Raya.
Setelah perpisahan ke tujuh Uria itu, akhirnya Perkembangan suku
Dayak Maanyan terjadi dengan pesat di daerah Kabupaten Barito Timur sekarang
ini. Sedangkan perkembangan suku Dayak Maanyan di daerah Kecamatan Dusun Tengah
dan Barito Selatan adalah sebagian mereka yang bermigrasi dari daerah Barito
Timur untuk mencari daerah baru sebagai tempat berusaha atau karena ikatan
perkawinan.
Lebih dari tiga puluh delapan tahun Kabupaten Barito Timur,
berstatus sebagai Kabupaten Administratif Barito Timur dan selama periode itu
pula keadaan masyarakat Barito Timur kurang mendapat perhatian dari pemerintah,
khususnya dalam bidang politik dan pemerintahan. Lalu, mulai 2 Juli 2002,
status Kabad Barito Timur, berubah menjadi Kabupaten Barito Timur dengan ibu
kota Tamiang Layang. Perubahan status ini merupakan kebanggaan yang luar biasa
bagi masyarakat Barito Timur. Berdirinya Kabupaten Barito Timur ibarat
berdirinya sebuah Nansarunai Wau(Nansarunai Baru) bagi masyarakat Barito
Timur, khususnya Dayak Maanyan. Kebanggaan yang luar biasa itu ingin mereka
wujudkan pula dengan tampilnya seorang pemimpin(Bupati) yang memang berasal
dari keturunan Nansarunai(Umpu Kakah). Sudahkan masyarakat Barito Timur
menyiapkan seorang Umpu Kakah yang dapat dibanggakan dan dapat diandalkan untuk
memimpin Nansarunai Wau ?. Para Umpu Kakah yang berada di
perantauan sangat mengharapkan agar Nansarunai Wau betul-betul
dapat diwujudkan dan dipimpin oleh seorang Umpu Kakah yang dapat menjamin
eksistensi identitas etnik dan budaya, serta kelangsungan hidup generasi Umpu
Kakah selanjutnya. Ingat, bahwa maju-mundurnya masyarakat Barito Timur
sangat ditentukan oleh adanya pipakatan dan bukan oleh sifat yang hanya
mencari keuntungan sesaat atau menggadai tane ranu. Saat ini, pipakatan,
sangat penting. Namun apabila ada diantara Umpu Kakah yang mementingkan diri
sendiri, dan mengabaikan masa depan anak cucunya, maka sangat mungkin bahwa
kejatuhan Nansarunai akan terulang kembali. Renungkan perkataan Martin Luther
King, Jr: Unless we learn how to live together, as brothers and sisters,
we shall die together as fools ( Kalau kita tidak mau belajar untuk
hidup bersama sebagai saudara, maka kita akan mati konyol seperti orang bodoh).
Sebagai penutup dan sebagai penggugah solidaritas para Umpu Kakah dalam
mempersiapkan seorang figur Umpu Kakah sebagai calon Bupati Kabupaten Barito Timur,
berikut disajikan pesan Kakah Warikung dan Itak Ayan untuk kita semua:
Ware patategei tangan takam mamai gunung padu um’mu, pakakawit
kingking takam nungken watu sukat panjang.
Nampan kaamuan takam Nansarunai wau, kaantangun takam ngamang
talam hanyar.
Nampan murumitif yiri Nansarunai rami, nampan muruminim yiri
ngamang talam raya.
Nampan la manguntur takam kala harek jatuh, kuda langun takam
alang rakeh riwo.
(Oleh : Prof. Kumpiady Widen)
No comments:
Post a Comment