Pisor Memimpin Ritual Nulak Peres |
D
|
alam berbagai litelatur
ilmiah penyakit bersumber dari berbagai macam, yaitu karena gaya hidup, faktor-faktor
genetika (diturunkan) dan adanya antigen-antigen (kuman, virus,dll) yang masuk (menginvasi) menginfeksi tubuh atau
trauma-trauma tertentu, yang pasti jika di diagnosa sakit maka akan ditangani
dan diobati sesuai dengan standar-standar penanganan dan perawatan yang sudah
ada. Pendekatan medis adalah pendekatan yang ilmiah dan tertentu jika ini
digali lebih dalam maka berakhir pada tingkat-tingkat molekuler dari
unsur-unsur kimia namun jika ditanya darimanakah sumber-sumber molekuler dan
unsur-unsur kimia tersebut? maka akan sulit menemukan titik terangnya karena
semua berawal dari Ranying Hatala. Penyakit
sudah tentu setiap kepercayaan dan agama memiliki pandangan terhadapnya, pada
kehidupan sehari-hari umat Hindu Kaharingan juga sudah tentu ada keyakinan dan
pemahaman tentang penyakit, pemikiran dan pemahaman yang bersumber dari
ajaran-ajaran leluhur yang barang tentu jika dipandang dari segi ilmiah adalah
akan dianggap sesuatu yang aneh, namun pada realitannya hal itu bukan karena
ajaran-ajaran yang aneh tetapi pemahan kita sebagai manusia yang sungguh kurang
mampu menelaahnya. Kemudian dibenaak setiap orang akan ada terpikir pertanyaan
ini;
Untuk menjelaskan itu
mesti harus merunutnya dari Panaturan,
hal ini dijelaskan dari pertemuan Manyamei
Tunggu Garing Janjahunan Laut dan Kameluh
Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun di Lasang Bangkirai Bahenda Sambung di Pantai Danum Sangiang (Khayangan)
pertemuan dan penyatuan yang tanpa di ikuti oleh sebuah ikatan mengakibatkan
Kameluh Putak Bulau mengalami Panjajuri
Daha (Keguguran), darah tersebut dilihat dan diambil oleh Manyamei Tunggu Garing Janjahunan Laut dengan
kain Hitam kemudian ditempatkan dalam Sangku Raja (sebuah wadah seperti
mangkuk) yang kemudian untuk menghanyutkannya Manyamei Tunggu Garing Janjahunan Laut membuat sebuah lanting dari Bamban Balang yang kemudian lanting
tersebut dilihat oleh Tambun Hai Nipeng
Pulau Pulu maka di ikuti oleh suara petir dan cahayanya rakit Bamban Balang berubah menjadi Lanting Leleng Burung Dahiang (rakit
burung dahiang yang mangakibatkan pengaruh buruk dalam kehidupan), Sangku Raja berubah
menjadi Banama Bunter Dia Haluana, Anjung
Bulat Isen Kamburia (Kapal tanpa haluan dan ujung belakang) lalu darah
dalam kain hitam menjadi Sarupui Biha
Apui yang mana kemudian berketurunan Tunggal
Kurung, Dahiang Batanduk Tunggal yang menjadi berbagai macam dahiang (pengaruh buruk dalam kehidupan)
dan juga menjadi Karang Rajan Peres
yang menjadi berbagai macam penyakit yang berada di tengah samudera mereka
tersebutlah yang dianggap sebagai sumber penyakit yang kemudian mengambil nyawa
seseorang yang sudah sampai saatnya kembali menyatu dengan Ida Hyang Widhi
Wasa/ Ranying Hatala hal ini diperkuat oleh ritual Balian Tantulak Ambu Rutas Matei (ritual tiga hari setelah
kematian) disana dijelaskan perjalanan Sangiang
Raja Dohong Mama Tandang, Langkah
Apang Bungai Sangiang dari Bukit
Pasahan Raung (alam kuburan) menuju ke Laut
Mangantung Sampang Hariran Manunyang (Tengah Samudra) bertemu dengan Karang Rajan Peres untuk mengambil roh
manusia yang meninggal yang disimpan dalam Banama
Bunter Dia Haluana, Anjung Bulat Isen Kamburia yang mana dalam
perjalanannya ia bertemu dengan salah satu rakyat dari Karang Rajan Peres (Raja Penyakit) yang memiliki tandak bintik
darah di dahinya hal itu menunjukkan bahwa dia lah yang menyebabkan kematian
tersebut, yang kemudian diminta Raja
Dohong Mama Tandang untuk mengembalikan roh liau haring kaharingan (roh
yang meninggal) dan jangan lagi menganggu keluarga dari yang meninggal, pada
akhirnya roh tersebut diberikan dalam bentuk Tanteluh Tingang Katen Antang (telur).
Bagaimana
cara mengatasi masalah tersebut?
Dalam masalah tersebut ada
2 (dua) jalan yang telah disabhakan Tuhan Ranying Hatala hal ini terlihat;
1. Saka/Obat-Obatan,
hal ini di sabdhaka ketika terciptanya Manyemei
Tempun Telun Tinggang dan Kameluh
Tempun Tiawun Tinggang yang meciptakan segala macam penyakit dan
permasalahan dalam kehidupan maka diciptkanlah oleh Ranying Hatala dan Jatha
Balawang Bulau berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hal-hal lain yang dapat
membantu manusia dalam mengatasinnya, yang dalam kehidupan orang Hindu Kaharingan
disebut saka dan dijaman yang modern ini
disebut obat-obatan.
2. Ritual,
hal ini di sabdhaka ketika Ranying Hatala
dan Jatha Balawang Bulau menciptakan
Behas Parei Manyangen Tinggang (beras) menjadi dua fungsi dalam kehidupan yaitu
sebagai tambing nyaman luwuk kampungan
bunu (makanan) dan dohong ruang rawei
luwuk kampungan bunu (mediator/perantara) antara manusia dengan
roh-roh/kekuatan diluar dirinya
Prosesi Ritual Nulak Peres
Satu hari
sebelum ritual dicarilah bahan-bahan dan alat ritual yang diperlukan untuk
membuat sesajen dan acak serta keperluan lain. Pada hari kedua pembuatan
sesajen dimulai dengan para ibu memasak ketan pada bambu yang disebut asip, memasak kue (kue cucur, randang), membuat ketupan
(ketupat ayam, sinta, bala laki-laki
serta perempuan) dan mengisi dengan beras asli yang ditumbuk, disisi lain para
bapak bekerjasama membuat acak
(ayaman tempat sejajen yang terbuat dari bambu), meniris tangkai kelapa, dan
membuat kuah tepung (patung manusia dari tepung), setelah ketan dalam bambu
yang disebut asip sudah masak maka
ayam akan disembelih, sebelumnya ayam dikasai
hendai (kunyit dan ditambah minyak),
tampung tawar (air/tirta) dan digaru
dengan perapen (dupa) di ikuti dengan
do”a (mantra-mantra dalam bahasa Sangiang)
setelah selesai ayam disembeli dengan kepala mengarah pambelum (matahari terbit) darah ayam ditambah sedikit bulunya
ditampung pada wadah, kemudian ayam dibersihkan dari bulu-bulunya, bagian usus
halus ayam tidak dimasak tetapi diambil mentah untuk sesajen, ayam dibelah dari
pantat menuju kepala pada bagian badan belakang kanan, kuah tepung (patung manusia dari tepung) yang sudah ditaruh
bagian-bagian baju+celana, kuku, rambut dimasukkan dalam ancak.
Setelah semua
sudah selesai maka prosesi segera dimulai, tikar tawur dihampar menghadap arah pambelum (matahari terbit) setelah itu pisor/rohaniawan
memasang semua perlengkapannya dalam memimpin ritual yaitu mengikat lilis/lamiang
pada tangannya, memasang mandau serta
dohong (alat tradisional) dan mengikat
lawung (ikat kepala dari kain merah), lalu acak
ditaruh diatas tikar tawur kemudian semua sesajen dimasukan didalam ancak
kecuali sangku tambak yang berisi hambaruan, setelah semua selesai pisor yang
memimpin ritual manyaki sesajen dengan darah ayam, menapung nawar dan menyapu
ngaru dengan mengunakan do’a/mantra-mantra suci dalam bahasa Sangiang.
Masyarakat Desa Dalam Mengikuti Ritual |
Ritual berlanjut pada prosesi berikutnya yaitu narinjet behas dengan terlebih dahulu
mengaru manyan behas tawur yang ada
didalam mangkok dengan menggunakan do’a/mantra-mantra dalam bahasa Sangiang, setelah selesai maka
dimulailah prosesi narinjet behas dan
manawur dimana didalam berbagai
prosesi ritual, beras merupakan mediator melewati putir bawin tawur sintung uju atau manyamei hatuen tawur sintung uju untuk ritual tertentu yang
menjadi penghubung antara manusia dengan para bhuta kala dan para sangiang
(dewa)/kekuatan diluar dirinnya, dimana dalam tawur pisor (basir/pemimpin
ritual) memohon berkat dan perlindungan dari atang tajahan (elang sakti penguasa tajahan/hutan suci baik elang langit dan elang dibumi) lalu juga
dengan patahu panjaga lewu (dewa suci
penjaga kampung halaman) baik untuk dirinya sebagai pemimpin ritual dan seluruh
masyarakat kampong, setelah itu barulah pisor/rohaaniawan menawur (melalui putir bawin tawur sintung uju) menyampaikan
sesajen kepada Karang Raja Peres (Raja
Penyakit) dan membangun roh kuah tepung (patung manusia dari
tepung) sebagai penganti manusia yang ada dikampung setelah prosesi manawur
selesai maka ancak diangkat dan satu persatu masyarakat kampung menghantukkan
kepala bagian kiri pada acak dengan arah menghadap ke matahari terbit
(pambelum) di ikuti dengan do’a dilanjut meludahi bagian dalam acak serta
menolaknya dengan tangan kiri setelah prosesi ini selesai acak dikeluarkan dari
dalam tempat ritual dan dibawa ke pinggir sungai di seberang kampung tempat
berlangsungnya prosesi, setelah selesai semua orang mengambil hambaruan yang
disimpan dalam sangku tambak dan melakukan ritual batatan saki batimpung palas
(saki palas)/ mengoleskan darah hewan korban, manyamenget, memercikkan tirta
dan mengoles undus tanak (minyak kelapa) serta mengikat kain kuning ditangan.
No comments:
Post a Comment