Mampandui Awau (Anak) pada prosesi ritual |
A
|
nak adalah harapan masa depan bagi setiap orang tua,
kehilangan satu orang anak berarti kehilangan seribu keturunan di kemudian hari,
demikian pentingkah seorang anak? Tentu sangat penting, lalu bagaimana umat
Hindu Kaharingan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan memaknai kelahiran
seorang anak?
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus
citacita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa
depan. Setiap orang tua menginginkan anaknya kelak mampu memikul tanggung jawab
tersebut, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal baik secara fisik, mental maupun sosial serta
berahlak mulia. Hal ini menunjukan betapa pentingnya seorang anak yang lahir
dan hidup di dunia, begitu juga bagi masyarakat Hindu Kaharingan di DAS
Katingan dalam menyambut datangnya sosok manusia baru yang akan mengisi dan
memberikan kontribusi bagi keluarga, suku, bangsa/ negara dan dunia. Begitu
anak telah lahir maka akan dilakukan berbagai ritual penyambutan dengan
memanjatkan doa sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatala Langit (Tuhan) yang diwujudkan dalam ritual Hiang
Sandah.
Ritual Hiang
Sandah adalah ritual ucapan syukur
atau ucapan terima kasih keluarga atas pertolongan Sangiang Hiang Sandah sebagai manifestasi Ranying Hatala Langit yang telah membantu ibu dalam melahirkan
seorang anak dan sekaligus ritual pemberian nama untuk anak. Disamping itu
semua, upaya manusia dalam menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan
manusia, manusia dengan alam semesta, dan keseimbangan hubungan manusia dengan
Sang Pencipta juga terefleksi dalam ritual ini.
Ritual ini dilakukan selama 2 (dua) hari yaitu pada
hari pertama dilakukan prosesi ritual mampandui
awau (memandikan bayi) dengan rentetan ritual yaitu mampalua awau bara pasah/huma
(mengeluarkan anak dari rumah), manyamenget
awau baun bapatah hapan petak (menaburkan tanah di kepala si bayi yang
dilaksanakan di teras depan rumah), mampandui
awau (memandikan anak) dan mampelep
punduk enyuh (memadamkan api pada tangkai kelapa yang dibakar), dalam
prosesi ini ada terkandung nilai bahwa alam adalah teman yang akan selalu
mendampingi anak dalam perjalanan hidupnya sejak ia datang ke Pantai Danum Kalunen (dunia) dan ketika
suatu saat nanti kembali menyatu dengan Ranying
Hatala Langit. Pada prosesi ritual ini orang tua mengendong anak
menggunakan sapuyung metuk di mana
pada sapuyung metuk tersebut
diselipkan rumput sasaka, sembilu,langeh/akar simbel dan membawa punduk enyuh yang ditaruh pada palindung
serta manyamenget anak dengan tanah
sebagai pertanda bahwa hari itu merupakan pertama kalinnya si anak keluar dari
rumah. Makna dari upacara ini juga menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dan
cinta orang tua kepada anaknya. Dari rasa kasih sayang dan cinta maka akan
memunculkan rasa untuk melindungi dan menuntunnya ketika dia masih hidup dan
begitu hal ini dipahami dengan betul- betul oleh tiap-tiap anak, maka ketika
mereka besar seharusnya tidak ada seorang anak pun yang akan membalas semua
kebaikan orang tuanya dengan sesuatu yang kurang pantas.
Pada hari kedua ritual, keluarga dan orang tua
menyiapkan sesajen ritual berupa kue randang, cucur, ketan hitam, ketan putih,
dan memotong ayam sebagai hewan korban. Untuk warna bulu ayam bisa warna apa
saja tetapi kalau anak laki-laki maka hewan korbannya adalah ayam betina begitu
juga sebaliknya jika anak perempuan hewan korbannya ayam jantan. Sesajen lain
yang disiapkan juga adalah memanggang
sagala (terbuat dari bambu yang di dalamnya diisi beras ketan) dan asip biasa (terbuat dari bambu dan di
dalamnya diisi beras biasa dicampur dengan bagian dalam isi hewan korban),
kemudian seluruh sesajen disiapkan di atas tikar
purun, setelah semua sesajen siap kemudian seorang rohaniawan (pisor) akan
memimpin prosesi ritual dengan manyaki
(mengoleskan darah hewan korban) dan manggaru
(mengasapi dengan perapian atau dupa) sesajen dilanjutkan dengan manggaru beras tawur, mampisik ganan behas (membangkitkan roh
beras), manjung tawur ke Pantai Danum Sangiang (roh beras pergi
menuju tempat di mana Hiang Sandah
berada) untuk memanggil roh Hiang Sandah.
Ritual ini dilaksanakan di depan pintu rumah.
Sesajen Ritual Hiang Sandah |
Kemudian pisor mencicipi sesajen yang telah disiapkan
sebagai simbol bahwa Sangiang Hiang Sandah sudah menerima ucapan syukur yang
dipersembahkan oleh keluarga tersebut, lalu dilanjutkan dengan manyipa dan
masang katune. Ritual berikutnya adalah batatang saki batimpung palas yaitu
bidan yang menolong persalinan anak mengoleskan darah hewan korban pada si anak
sebagai simbol untuk memohon berkat dari Ranying Hatala Langit melalui Sangiang
Hiang Sandah. Ritual batatang saki batimpung palas terdiri dari manyaki anak
serta kedua orang tuanya dengan darah hewan korban, tampung tawar, manyamenget
(menaburkan beras di atas kepala), muhus
undus tanak (mengoleskan minyak tanak di atas kepala). Begitu selesai
ritual batatang saki batimpung palas maka
dilanjutkan dengan ritual basarak sundur
(menyisir rambut bayi dan ibunya) yang dilakukan oleh sang suami sebagai simbol
do’a agar istri dan anaknya selalu dianugrahi kesehatan dan keselamatan.
Setelah ritual basarak sundur selesai
maka akan dilanjutkan dengan ritual enyuh
kurak pinding (menggoyang – goyangkan buah kelapa di dekat telinga si bayi)
dan diakhiri dengan ritual Sangiang Darung
Bawan yaitu melempar beberapa sesaji hingga melampaui atap rumah yang
bermakna agar anak nantinya dapat menjalani hidup dengan baik dan mampu
menghadapi segala halangan dan rintangan yang ia hadapi.
Setelah itu, buah kepala yang digunakan tersebut
ditanam di dekat sawang turus janji kedua orang tuannya ketika menikah. Pada
ritual ini rohaniawan (pisor), orang tua, dan seluruh keluarga mengucapakan
do’a – do’a seraya menaruh harapan besar kepada anak tersebut agar kelak
menjadi seseorang yang berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa/ negara dan
bumi tercinta.
Manfaat lain yang dapat dipetik dari ritual ini adalah
adanya nilai kebersamaan di masyarakat yang mulai sangat jarang terlihat di
kehidupan manusia sekarang, nilai kebersamaan yang diperlihatkan oleh keluarga
besar ketika bekerja saling gotong royong untuk membantu keluarganya baik
berupa materil maupun non materi (dukungan moral), hal ini menunjukan bahwa Peyang
Hinje Simpei, Panturung Humba Tamburak bukan hanya menjadi slogan semata tetapi
mendarah daging dalam kehidupan pemeluk agama Hindu Kaharingan di DAS Katingan.
Makna lain yang terlihat dalam ritual ini adalah adanya upaya yang secara tidak
langsung untuk melestarikan warisan leluhur berupa ritual maupun barang-barang
yang selama ini semakin hari semakin punah seperti balusuh, palindung, sapuyung
metuk, dan lain – lain, jika ritual ini tetap konsisten dilakukan maka kita
tidak akan kehilangan jati diri, ajaran- ajaran leluhur yang memang perlu
dipertahankan, mempunyai nilai tinggi dan makna besar dalam menjalani kehidupan
maka dari itu orang-orang yang melakukan ritual ini seharusnya merasa bangga
dan bukan merupakan suatu beban kehidupan.***
(Terima Kasih Kepada Narasumber Almarhum Sinon Kanjok)
No comments:
Post a Comment