Sinon Kanjok adalah
putra dayak asli yang lahir dan hidup ditanah Dayak, beliau adalah anak dari
Kanjok dan Sani inon Kanjok adalah putra dayak asli yang lahir dan
hidup ditanah Dayak, beliau adalah anak dari Kanjok dan Sani, putra kedua dari
8 (delapan) bersaudara, Sinon Kanjok lahir di Desa Hapalam pada tanggal 17
Agustus 1931 (80 tahun silam), terlahir dari keluarga yang sederhana sehingga
membuat beliau yang sejak kecil sudah memahami, bersahabat dan hidup dengan
alam serta keadaan adat budaya spiritual suku dayak terkhususnya daerah aliran
sungai Katingan, lahir dimasa-masa Indonesia ketika sulit yaitu pada jaman
penjajahan tidak membuat beliau mengalami suatu kondisi yang kurang
menyenang, cerita beliau tentang masa-masa silam beliau, membuat para
anak/cucunya akan merasa lebih bangga hidup dan tinggal di tanah Dayak
tercinta.
Perjalanan hidup terus berlalu, waktu tetap berjalan dan kehidupan mengikuti hukum keadaan yang diatur oleh sang Pencipta, dimasa penjajahan yang sulit akan pendidikan tidak membuat surut beliau untuk menempuh pendidikan secara formal walaupun hanya mampu tamat dari SR (Sekolah Rakyat) dimasa itu, untuk mendapat pengetahuan yang lebih semua didapat secara autodidak (belajar mandiri), beranjak dari masa sekolah menuju ke masa muda beliau menemukan seorang perempuan yang juga merupakan putri dayak asli bernama Dayah, mereka menikah didesa Hapalam yang kemudian memiliki 12 anak (7 laki-laki dan 5 perempuan dimana 2 diantaranya meninggal ketika anak-anak).
Perjalan hidup beliau tetap berjalan sebagaimana adanya orang lain yang tinggal di desa Hapalam, namun perbedaannya adalah kehidupan sosial dan keorganisasian serta kehidupan spiritual yang beliau jalani didalam hidupnya, catatan rapi yang tertulis didalam buku-buku tersalin dengan indah sampai akhirnya beliau meninggalkan tanah Dayak tercinta ini untuk menyatu kembali dengan Ranying Hatala (Tuhan Yang Maha Segalanya), sebagaimana ia datang dan ia kembali (jalan tesek, jalan buli). Hal tersebut sungguh membuat penulis terkagum-kagum.
Perjalanan hidup terus berlalu, waktu tetap berjalan dan kehidupan mengikuti hukum keadaan yang diatur oleh sang Pencipta, dimasa penjajahan yang sulit akan pendidikan tidak membuat surut beliau untuk menempuh pendidikan secara formal walaupun hanya mampu tamat dari SR (Sekolah Rakyat) dimasa itu, untuk mendapat pengetahuan yang lebih semua didapat secara autodidak (belajar mandiri), beranjak dari masa sekolah menuju ke masa muda beliau menemukan seorang perempuan yang juga merupakan putri dayak asli bernama Dayah, mereka menikah didesa Hapalam yang kemudian memiliki 12 anak (7 laki-laki dan 5 perempuan dimana 2 diantaranya meninggal ketika anak-anak).
Perjalan hidup beliau tetap berjalan sebagaimana adanya orang lain yang tinggal di desa Hapalam, namun perbedaannya adalah kehidupan sosial dan keorganisasian serta kehidupan spiritual yang beliau jalani didalam hidupnya, catatan rapi yang tertulis didalam buku-buku tersalin dengan indah sampai akhirnya beliau meninggalkan tanah Dayak tercinta ini untuk menyatu kembali dengan Ranying Hatala (Tuhan Yang Maha Segalanya), sebagaimana ia datang dan ia kembali (jalan tesek, jalan buli). Hal tersebut sungguh membuat penulis terkagum-kagum.
Cerita hidup tentang jaman
penjajah dan gerakan merah putih ketika itu hanya didengar ketika sekilas dari
beliau ketika hidup, perjalan beliau (mengunakan kelutuk dan lanting)
dijaman berdagang dan berjualan ke arah Banjarmasin ditempu dulu meninggal
suatu cerita ketika beliau ditembak oleh para penjajah didalam perjalanannya ke
muara melewati daerah Mendawai, selain itu cerita mencari alat-alat rumah dari
daerah hulu yang hanya berbekalkan lanting kayu melewati berbagai riam sungguh
tidak terbayangkan sulitnya kehidupan dimasa itu.
Dari kehidupan beliau yang tidak kalah
menariknya adalah menjadi seorang Dukun Bayi (Bidan Kampung “Anggapan orang
desa”) kehidupan sosial ini membuat beliau tampak menjadi lebih dekat dengan
siapapun karena beliau tidak hanya menolong ibu-ibu yang melahir didaerah desa
Hapalam tetapi juga daerah-daerah di Kec. Tewang Sangalang Garing karena
kegigihan dan keuletan beliau banyak orang memangilnya dengan pangilan Bue
Bidan, yang bagi penulis beliau teranggap Prof. Obsetri dan Ginekologi yang
belajar secara autodidak, dimasa-masa ilmu kesehatan yang sudah memasuki aliran
sungai Katingan beliau tidak merasa alergi untuk bekerja dengan tenaga
kesehatan bahkan beliau pernah dilatih (program pemerintah dimasa itu) menjadi
seorang Dukun Bayi, yang sungguh luar biasanya ketika beliau diusia lanjutpun
tetap ada yang meminta bantuan, dengan alasan usia beliau tidak mampu lagi
melakukan kegiatan tersebut.
Cerita lain yang tidak kalah
menarik adalah kehidupan organisasi yaitu ketika beliau berusia 45 tahun
tepatnya pada tangal 1 April 1976 menjabat menjadi kepala desa Hapalam, 13
tahun menjadi seorang kepala desa (14 Nopember 1988) bukan sesuatu yang mudah
catatan rapi beliau tentang kegiatannya selama itu masih dibaca dan dinikmati,
membangun desa adalah suatu kebangaan bagi beliau, mementingkan kepentingan
umum diatas kepentingan pribadi sangat jelas terlihat dari catatan beliau. Ini
adalah sebagian cerita yang ditulis sebagai bentuk rasa kebanggan akan seorang
yang dianggap luar biasa.
Kini beliau telah tiada hanya kenangan dan
harapan yang tertinggal diantara inggatan anak,cucu, cicit dan semua keluarga,
beliau menutup mata di usia yang ke 80 di Desa Hapalam Kecamatan Tewang
Sangalang Garing Kabupaten Katingan tanggal 13 Desember 2011 Pukul 16.20 WIB,
beliau adalah Pahlawan Bagi Ku dan Keluarga. 5 (lima) bulan beliau telah
meninggalkan kami, setiap pulang kampung dan berada dirumah saya teringat akan
beliau yang selalu duduk dipelantaran rumah untuk menikmati enak angin
sepoi-sepoi, selamat jalan Kakek ini hanyalah sebagian dari ungkapan yang lama
ingin disampaikan. Jalan Tesek, Jalan
Buli Jalan Hatala Manenga Asi, Terima Kasih Tuhan telah memberikan
kesempatan untuk didikdik oleh beliau.
No comments:
Post a Comment