Perkawinan Hindu Kaharingan Pada Suku Dayak |
D
|
alam
adat perkawinan yang berlaku di Kalimantan Tengah yang menggunakan sistem Bilateral, perkawinan adat ini
diberlakukan pembayaran Jujuran
(Jalan Hadat).
Pembayaran Jalan Hadat
dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Jalan Adat ini sudah dikenal luas, tapi apa nilai-nilai yang
terkandung dibalik simbol-simbol Jalan Hadat
tersebut dikaitkan dengan konsep ajaran agama Hindu Kaharingan secara
keseluruhan belum banyak diketahui orang. Sehingga pemahaman masyarakat luas
terhadap Jalan Hadat
mentok pada upacara. Selain itu pertumbuhan dan perkembangan sosial masyarakat
Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju menuju tatanan kehidupan yang lebih maju dan
modern membawa sejumlah perubahan. Ritual perkawinan sebagai salah satu sub
kultur dalam kebudayaan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju dengan
berbagai unsur bawahannya, termasuk Jalan
Hadat
tentunya tidak imun terhadap perubahan tersebut.
Pada
masa sekarang telah terjadi pergeseran dalam Jalan Hadat
pada perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, seperti Garantung Kuluk Pelek (Gong) dan Lamiang Turus Pelek kini digantikan
dengan emas, perhiasan dan barang berharga lainnya. Lamiang Turus Pelek pada jaman dulu wajib ada karena pada saat
upacara Haluang Hapelek (proses
dialog penagihan dan pembayaran Jalan Hadat
perkawinan) benda inilah yang akan menjadi tonggak perjanjian kedua mempelai
dihadapan Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa. Fenomena pergeseran ini juga
semakin diperparah oleh kekurang pedulian terhadap nilai-nilai sakral
perkawinan termasuk salah satunya adalah pentingnya penerapan Jalan Adat ini dalam perkawinan karena
adanya pengaruh pergaulan bebas dan meniru gaya hidup yang kurang sesuai dengan
adat ketimuran. Sehingga upacara perkawinan seakan-akan hanya merupakan sebuah
simbol pengesahan sebuah hubungan saja.
Jika
fenomena perubahan itu tidak disikapi secara adaptif dan efektif, keberadaan Jalan Hadat sebagai pedoman dan ajaran etika
hidup bagi masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju tidak akan dirasakan
lagi kekuatannya sebagai sumber daya manusiawi yang potensial untuk memilari
sikap dan perilaku mereka. Dengan kata lain, Jalan Hadat
sebagai salah satu oasis budaya masyarakat Hindu Kaharingan tetesan masa lalu
hanya akan tinggal sebagai sebuah tinggalan sejarah dan monumen budaya masa
lalu yang tanpa fungsi dan makna berarti lagi dalam konteks kehidupan mereka
sebagai manusia dan masyarakat.
Mengingat
Jalan Hadat sebagai salah satu penuntun moral
dan pedoman etika bagi masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, selain
sudah cenderung mengalami penyusutan fungsi dan maknanya dalam realitas sosial
budaya masyarakat Hindu Kaharingan, juga tidak menutup kemungkinan menuju
ambang kepunahan, berbagai upaya pelestarian perlu dilakukan secara sistematis
dan terstruktur. Salah satu ancangan mikro untuk menunjang keberhasilan upaya
pelestarian ini adalah mengkaji secara khusus dan mendalam Jalan Hadat
tentang fungsi dan maknanya. Secara dasariah, pengkajian ini bertujuan untuk
merekostruksi pemahaman dan pemaknaan Jalan
hadat
dalam hal fungsi dan maknanya sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi
mereka dalam bersikap dan berperilaku. Dengan memahami kembali secara tepat
bentuk, fungsi dan makna Jalan Hadat,
diharapkan mereka dapat kembali pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan
nurani dan ketajaman hati sebagai suatu kelompok masyarakat yang berwatak
tenang dan cinta damai sesuai dengan konsep Belum
Bahadat (hidup beradat) dan Budaya
Rumah Betang.
Jalan Hadat
Pelek Rujin Pangawin adalah tata
cara dan persyaratan yang ditempuh dalam beberapa kegiatan ritual perkawinan
baik sebelum pelaksanaannya maupun disaat perkawinan itu dilaksanakan serta
awal mulainya kehidupan berumah tangga termasuk didalamnya adanya Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh seorang
laki-laki terhadap perempuan dan keluarganya. Hak, kewajiban dan tanggung jawab
perkawinan termuat dalam Pelek Rujin
Pangawin yang artinya Pedoman Dasar Perkawinan.(Nila Riwut, 2003:224).
Jalan Hadat
perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh
masyarakat umum sebagai Jujuran atau mas kawin adalah syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang laki-laki bagi calon mempelai perempuan dan keluarganya
pada upacara perkawinan yang berdasarkan ketentuan hukum agama Hindu Kaharingan
dan hukum Adat Dayak Ngaju yang berlaku serta tradisi dalam keluarga mempelai
perempuan. Tentang asal adanya Jalan Hadat
perkawinan ini dapat diketahui dalam Panaturan
(Kitab suci agama Hindu Kaharingan) yang menyatakan sebagai berikut :
Pelek Rujin Pangawin ije manjadi suntu
awi RANYING HATALLA hajamban Raja Uju Hakanduang intu lewu Bukit Batu Nindan
Tarung, akan uluh kalunen panakan Maharaja Bunu dapit jeha, tuntang jetuh kea
ije manjadi tampara bukun uluh bawi tege Palaku tuntang Jalan Hadat.
(Panaturan,30.33)
Artinya :
Pelek
Rujin Pangawin ini yang menjadi contoh dari RANYING HATALLA, melalui Raja Uju
Hakanduang di Lewu Bukit Nindan Tarung untuk manusia turunan raja Bunu dan
inilah yang menjadi awal perempuan ada Jalan Adat atau mas kawinnya.(Tim
Penyusun, 2003;115)
Penerapan
Jalan Hadat dalam upacara perkawinan
masyarakat Dayak Ngaju, sesungguhnya
yang menjadi intinya adalah bagaimana sebuah komunikasi yang akan terjalin
antara keluarga luas dari pihak-pihak yang bersangkutan serta merupakan
refleksi etika hidup masyarakat Dayak khususnya seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan dan keluarganya. Penerapan Jalan Hadat
ini bermuara dalam upaya mempertahankan hubungan sosial kemasyarakatan agar
tetap berjalan dalam keadaan serasi, selaras dan seimbang, terutama hubungan
sosial dengan anggota keluarga yang tercakup dalam temali kekerabatan darah dan
temali kekerabatan perkawinan.
Latar
belakang munculnya Jalan Hadat
yaitu berpedoman pada pada “Pelek Indu Sangumang” (Raja Garing Hatungku dan
Nyai Endas Bulau Lisan Tingang), yang
mana diriwayatkan bahwa Tuhan semesta alam (Ranying Hatalla) sebelum menurunkan
manusia ke muka bumi, di alam atas telah terjadi perkawinan antara Nyai Endas Bulau Lisan Tingang/Indu
Sangumang dengan Raja Garing Hatungku. Namun setelah menikah, Nyai Endas Bulau Lisan Tingang tidak mau
berkumpul dengan suaminya sebab dia merasa kurang persyaratan perkawinannya. Raja Garing Hatungku bertanya apakah
yang kurang ? Nyai Endas Bulau Lisan
Tingang meminta Palaku (mas
kawin) atau Jalan Hadat
sebagai bukti bahwa dia sudah kawin dan sebagai modal hidup yang dapat
diperlihatkan kepada anak cucunya. Nyai
Endas Bulau Lisan Tingang meminta Palaku
(mas kawin) berupa :
1. Bukit lampayung Nyahu (Sandung/tempat
tulang). Pada saat upacara Tiwah
(upacara kematian tingkat terakhir untuk mengantarkan roh umat Hindu Kaharingan
yang meninggal ke alam keabadian/Lewu Tatau), maka tulang belulang almarhum
yang ditiwahkan akan disimpan dalam sebuah tempat berbentuk rumah yang lazim
disebut dengan Sandung oleh
masyarakat Dayak.
2. Banama Bulau Pahalendang
Tanjung Anjung Rabia Pahalingei Lunuk merupakan istilah dalam bahasa Sangiang yang berarti sebuah peti mati,
yang merupakan simbol kesetiaan sehidup semati antara suami istri. Jadi maksud
dari permintaan Nyai Endas Bulau Lisan
Tingang yang terdapat dalam simbol peti mati ini adalah dia menginginkan
sebuah kesetiaan sehidup semati dalam membangun rumahtangga.
3. Bukit Tampung Karuhei adalah sebuah tempat kumpulan rejeki dan
kekayaan. Bukit Tampung Karuhei ini menyimbolkan bahwa dalam membentuk sebuah
rumahtangga tidak hanya bermodalkan cinta namun juga didukung oleh pemenuhan
materi.
Setelah
syarat Palaku yang diminta oleh Nyai Endas Bulau Lisan Tingang terpenuhi
barulah Nyai Endas mau berkumpul
dengan suaminya. Tata cara perkawinan Nyai
Endas Bulau Lisan Tingang dan Raja
Garing Hatungku merupakan asal mula ritus perkawinan yang dilaksanakan oleh
suku Dayak Ngaju dan juga yang menjadi awal adanya Palaku atau Jalan Hadat
bagi perempuan.
Perkawinan
Istilah
perkawinan berasal dari kata dasar kawin
yang diberi awalan pe dan akhiran an, sehingga menjadi kata berimbuhan
perkawinan. Selain istilah perkawinan juga didapati istilah lain yang
mengandung arti sama yaitu pernikahan. Kata dasar nikah berasal dari bahasa
Arab yang sering dihubungkan dengan kata akad yang artinya janji dalam artian
perjanjian antara pria dan wanita sebagai suami istri (Hadikusuma, 2005 : 86).
Sedangkan pengertian perkawinan menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun
1974 pasal 1 dinyatakan bahwa “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu. Jadi perkawinan bukan saja merupakan sesuatu hal yang umum dalam
masyarakat, namun secara kodrat baik seorang laki-laki maupun perempuan
tentunya mempunyai keinginan untuk membentuk kehidupan secara bersama-sama
sebagai suami istri yang memiliki kekuatan hukum baik itu hukum agama maupun
hukum negara. Namun perkawinan bukan hanya dapat diartikan sebagai ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri
untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan
keluarga rumahtangga tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut
para anggota kerabat dari pihak istri dan suami. Terjadinya perkawinan berarti
berlakunya ikatan kekerabatan yang rukun dan damai” (Hadikusuma, 1977:70).
Perkawinan
dalam pandangan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju merupakan suatu
ikatan pertalian dalam rangka membentuk rumah tangga sendiri, sesuatu yang suci
yang dijunjung tinggi dan dipertahankan seumur hidup dan hanya maut yang memisahkan perkawinan itu seperti yang
terdapat dalam semboyan perkawinan Dayak Ngaju adalah : Belum Hinje Nyamah Hentang Tulang, Ije Sandung Mentang. Artinya
hidup berumah tangga sampai akhir hayat, yang maksudnya bahwa bagi pasangan
suami istri hendaknya mereka harus mempertahankan rumah tangganya sampai salah
seorang dari mereka meninggal dan yang hidup akan mengendong tulang yang
meninggal pada saat upacara Tiwah.
Jalan Adat
Perkawinan Sebagai Refleksi Etika Kehidupan Masyarakat Hindu Kaharingan
Suku Dayak Ngaju
Jalan Hadat
dalam perkawinan pada masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju tidak
terlepas dari menunjang kelestarian sikap moral. Gagasan ideal upacara
perkawinan yang telah diwariskan sejak dulu oleh leluhur masyarakat Dayak Ngaju
dapat disebut sebagai gagasan primer dalam rangka membangun manusia, sebagai
penunjang lambang pokok Batang Garing
(pohon kehidupan dan Dandang Tingang
(bulu ekor burung enggang) yang menyimbolkan ketiga alam dalam kehidupan
manusia) serta sebagai tuntunan dan bimbingan moral dalam rangka pembangunan
diri manusia itu sendiri secara utuh. Karena itulah terdapat isyarat adat yang
saling terjalin dan melalui beberapa proses, dimana salah satu isyarat adat
tersebut yaitu adanya Jalan Hadat
dalam upacara perkawinan pada masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju yang
berbentuk benda-benda adat yang merupakan simbol yang memiliki nilai-nilai
penting bagi masyarakat Dayak itu sendiri. Teori simbol dimanfaatkan untuk
mengetahui bentuk Jalan Hadat
dalam ritual perkawinan pada masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju di
Palangka Raya (Kalimantan Tengah). Teori simbol Kant (dalam Tri Guna, 2004:43)
mendefinisikan bahwa simbol adalah perantara untuk menampilkan akal murni
melalui relasi dengan yang transendental. Dan juga simbol berfungsi untuk (a)
menerapkan suatu pengertian obyek pengalaman indrawi, (b) menerapkan hukum
refleksi atas pengalaman kepada obyek lain. Dalam konteks arti simbolisme pada
masyarakat Hindu, simbol juga sarat dengan makna status dan peranan. Itulah
sebabnya pada masyarakat Hindu simbol dipandang sebagai identitas individu
maupun kelompok. Sejalan dengan itu analisis bentuk Jalan Hadat
dalam perkawinan masyarakat suku Dayak Ngaju juga berpedoman pada pandangan
Sutrisno (1990;60) bahwa kebudayaan merupakan jagad makna dan nilai yang
dikomunikasikan melalui lambang-lambang atau simbol-simbol.
Penentuan
bentuk dan jumlah Jalan Hadat
yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki dalam tahapan upacara perkawinan pada
masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju biasanya dilakukan pada saat
proses Maja Misek. Pada saat Maja Misek inilah kemudian terjadi
musyawarah mufakat antara kedua belah pihak untuk membahas mengenai Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh pihak
laki-laki dengan melihat atau berpedoman pada kitab Panaturan dan Jalan Hadat
yang telah dimiliki oleh ibu calon mempelai perempuan. Setelah musyawarah
mufakat tentang Jalan Hadat
dan penentuan waktu pelaksanaan upacara perkawinan ini selesai, maka akan
dibuat surat perjanjian peminangan yang berisi tentang ketentuan bentuk dan
jumlah Jalan Hadat
yang harus disediakan oleh pihak laki-laki, waktu pelaksanaan upacara
perkawinan dan ketentuan denda apabila salah satu pihak menunda atau bahkan
membatalkan peminangan. Jalan Hadat
tersebut yang akan diserahkan pada saat acara perkawinan. Adapun Syarat-syarat
adat perkawinan Hindu Kaharingan di kalangan masyarakat Dayak Ngaju yang lazim
dikenal dengan Jalan Hadat
secara umum adalah terdiri atas :
Palaku,
adalah mas kawin yang diwujudkan dalam sejumlah materi simbolis, dimana pada
jaman dahulu adalah berbentuk sebuah Balanga
atau Guci Cina yang memiliki nilai tinggi atau benda pusaka keluarga maupun
dapat berbentuk sebuah gong, namun pada saat sekarang dapat digantikan dengan
sebidang tanah atau barang berharga lainnya. Palaku ini fungsinya adalah sebagai jaminan hidup bagi mempelai
perempuan dari mempelai laki-laki, dimana nantinya Palaku ini merupakan hak wanita sepenuhnya dan akan diwariskan
kepada anak-anak mereka. Palaku ini
mutlak harus ada dan merupakan syarat perkawinan yang utama dan pertama. Palaku
merupakan hak ikat oleh pengantin laki-laki terhadap pengantin perempuan
dihadapan keluarga, bahwa ia memperoleh wanita tersebut dan akan dijadikan
pasangan hidupnya dalam berbagi rasa. Palaku
ini tidak boleh dipindah tangankan ataupun dijual karena merupakan dasar
hidup bagi kedua mempelai dalam membangun rumah tangga atau sering disebut juga
dengan Galang Pambelum dalam bahasa
Dayak Ngaju.
Saput,
adalah suatu materi simbolis yang ditujukan kepada saudara kandung laki-laki
mempelai perempuan atau saudara sepupunya jika tidak memiliki saudara kandung
laki-laki, yang berbentuk kain atau pakaian. Fungsi Saput ini adalah ungkapan terima kasih mempelai laki-laki terhadap
saudara laki-laki mempelai wanita yang telah menjaga mempelai wanita sebelum
mempelai wanita tersebut memasuki jenjang perkawinan. Makna dari Saput itu sendiri adalah sebagai wujud
penghargaan calon pengantin laki-laki terhadap calon ipar laki-lakinya yang
telah rela melepas saudara perempuannya dan atas pengorbanan mereka melindungi
mempelai perempuan pada saat dia belum menikah. Selain itu dengan adanya
pemberian Saput ini merupakan
pertanda bahwa seorang laki-laki yang ingin mengambil seorang perempuan sebagai
istrinya tidak hanya mengambil perempuan tersebut saja tetapi dia juga
mengambil saudara-saudara dari perempuan yang akan dia jadikan istri tersebut
sebagai keluarga yang patut dihormati dan dicintai layaknya dia mencintai
saudaranya sendiri.
Pakaian
Sinde Mendeng, adalah berupa sepotong pakaian
atau kain baju yang diberikan oleh mempelai pria kepada ayah dan ibu mempelai
wanita. Dimana pakaian Sinde Mendeng
ini berfungsi sebagai permohonan ijin mempelai laki-laki untuk memperistri
putrinya. Pakaian Sinde Mendeng
merupakan perlambang bahwa mempelai laki-laki tidak hanya mengambil mempelai
wanita menjadi istrinya tetapi juga menerima orang tua dari isterinya dengan
baik dan menghormati serta menyayangi mereka seperti menyayangi orang tua
kandungnya sendiri. Selain itu Pakaian Sinde
Mendeng ini juga merupakan wujud simbolik untuk mengganti pakaian orang tua
pengantin perempuan selama mereka merawat pengantin perempuan.
Sinjang
Entang. Sinjang adalah materi
simbolis berupa satu lembar kain panjang yang disebut Bahalai yang diberikan kepada ibu mempelai wanita. Sinjang berfungsi simbolis sebagai
pengganti pakaian ibu perempuan saat melahirkan anaknya tersebut dahulu.
Sedangkan Entang juga merupakan
sebuah materi simbolis berbentuk satu lembar kain panjang yang disebut Bahalai yang diberikan kepada ibu
mempelai wanita yang berfungsi sebagai
pengganti alat untuk menggendong mempelai wanita pada saat masih bayi, selain
itu juga sebagai simbol agar kedua mempelai memiliki rasa saling cinta kasih
terhadap kehidupan baru yang mereka bangun layaknya seorang ibu yang menyayangi
anaknya, seperti itu juga diharapkan kedua mempelai ini nantinya membangun
kelurga rumahtangga sampai Hentang Tulang
(sampai maut memisahkan) tidak bisa terpisah.
Lapik
Luang, adalah materi simbolis berupa satu lembar kain panjang ataupun
tikar dari rotan. Lapik Luang
berfungsi sebagai alas Sangku Pelek.
Selain itu juga terdapat Mangkok Luang
(mangkok putih yang berisi beras) yang nantinya akan diberikan kepada para Mantir Luang dan Mantir Pelek (perantara) yang bertugas dalam acara Haluang Hapelek sebagai wujud atau
ungkapan terima kasih yang punya acara atas jasa para Luang (perantara). Lapik
Luang ini bermakna penghormatan terhadap prosesi Haluang Hapelek dan menunjukkan bahwa kita percaya Haluang
Hapelek merupakan prosesi yang bersifat sakral.
Tutup
Uwan, diwujudkan dalam materi simbolis berupa kain hitam sepanjang dua
yard yang diberikan kepada nenek mempelai perempuan. Secara ritual Tutup Uwan tersebut berfungsi sebagai
penutup kehidupan kedua mempelai dari segala bahaya yang selalu mengganggu
kehidupan manusia. Tutup Uwan
bermakna untuk melindungi kedua mempelai pada saat melewati daerah Pukung Pahewan (daerah yang ada
penunggunya), menghindarkan kedua mempelai dari Sial, Pali Dahiyang Baya (sial, pantangan dan pertanda buruk) yang
dapat menggangu kedua mempelai dalam membangun rumah tangganya. Jadi Tutup Uwan ini secara formalitas adalah
untuk nenek calon mempelai perempuan agar nenek ini memberikan perlindungan
selaku orang tua dan Tutup Uwan ini
adalah untuk menutup atau melindungi kedua mempelai dari Sial, Pali Dahiyang Baya (sial, pantangan dan pertanda buruk) yang
dapat masuk melalui ubun-ubun.
Duit
Lapik Ruji, adalah materi simbolis berupa uang logam perak Belanda senilai satu
ringgit/golden. Duit Lapik Ruji ini
sebagai alas atau dasar celengan kedua mempelai. Duit Lapik Ruji ini berfungsi sebagai penarik datangnya rejeki
selama mereka hidup sebagai sepasang suami istri. Duit Lapik Ruji ini merupakan simbol harapan agar dalam kehidupan
rumah tangga kedua mempelai nafkahnya selalu terpenuhi dan banyak rejeki. Kata Lapik Ruji berasal dari kata Lapik yang berarti alas atau dasar. Ruji dari kata Loji yaitu bangunan yang kokoh. Sehingga yang dimaksud dengan
adanya Duit Lapik Ruji maka rumahtangga
kedua mempelai memiliki dasar yang kuat dan kokoh.
Bulau
Singah Pelek, adalah materi simbolis berupa
emas bubuk minimal satu keping (2,7 gram) atau bisa juga dalam bentuk cincin
kawin. Bulau Singah Pelek sebagai
pertanda bahwa kedua mempelai telah terikat dalam hubungan berumahtangga
membentuk keluarga yang baru terpisah dari keluarga yang lama. Makna adanya
syarat ini sebagai Jalan Adat dalam
upacara perkawinan pada masyarakat Hindu Kaharingan adalah agar rumahtangga itu
tidak tersesat, artinya dapat berjalan dengan baik, bahagia dan sejahtera.
Selain itu juga melambangkan kemurnian cinta kasih suami istri seperti emas
yang tidak pernah luntur, begitu pula cinta kasih mereka dalam membina
kehidupan berumahtangga. Dengan adanya Bulau
Singah Pelek diharapkan kedua mempelai selalu ingat bahwa mereka telah
terikat dalam sebuah ikatan perkawinan yang harus mereka jaga keutuhan dan
keharmonisannya sampai maut yang memisahkan atau Nyamah Hentang Tulang Ije Sandung Mentang.
Duit
Turus (Timbuk Tangga), adalah materi simbolis berupa uang logam recehan
(biasanya logam seratus perak) yang jumlahnya ditentukan berdasarkan
kesepakatan bersama keduabelah pihak dengan jumlah seimbang yang harus
disediakan oleh masing-masing pihak. Duit
Turus ini akan dibagikan pada saat upacara perkawinan kepada para undangan
yang hadir. Duit Turus yang
sebenarnya hanya dibagikan kepada para orang tua yang hadir dalam upacara
perkawinan tersebut, bukan diberikan kepada seluruh tamu yang hadir dalam
artian anak kecil atau yang masih muda. Hal ini dikarenakan Duit Turus itu berfungsi sebagai tanda
atau saksi bahwa telah berlangsung sebuah perkawinan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan, sehingga apabila masyarakat menjumpai kedua orang ini
berduaan tidak akan menjadi gunjingan atau masalah bagi masyarakat, selain itu
jika dikemudian hari terjadi masalah dalam kehidupan kedua mempelai maka
orang-orang yang telah menerima duit turus tersebut yang akan menjadi saksi. Maksud adanya Duit Turus ini adalah sebagai tanda
bahwa mereka yang menerima uang itu telah menyaksikan ikatan perjanjian
perkawinan kedua mempelai. Selain itu Duit
Lapik juga merupakan simbol permohonan doa restu kedua mempelai kepada
orang-orang yang menghadiri upacara perkawinan mereka.
Garantung Kuluk Pelek,
adalah materi simbolis berupa sebuah gong. simbol bukti ikatan perkawinan
dengan maksud agar kedua mempelai sanantiasa ingat dan menyadari akan arti
perkawinan itu serta ingat akan janji yang telah mereka ikrarkan. Garantung Kuluk Pelek juga menyimbolkan
kewibawaan seorang suami, dimana kewibawaan inilah yang diharapkan oleh seorang
wanita dari seorang suami dalam membina kehidupan berumahtangga. Makna lain
dari gong adalah sebagai meluruskan jalan kehidupan bagi kedua mempelai bahwa
perkawinan itu bertujuan untuk membangun rumahtangga yang bahagia.
Lamiang
Turus Pelek, adalah materi simbolis berupa
sepucuk Lamiang (manik batu agate),
dimana syarat ini tidak dapat digantikan dengan barang lain. Lamiang Turus Pelek ini merupakan saksi
janji mempelai berdua kepada semua sanak keluarga dan semua ahli waris tentang
tulusnya cinta mereka berdua untuk membangun rumahtangga. Lamiang Turus Pelek merupakan tonggak pertama pada saat orang
melaksanakan Pelek perkawinan. Lamiang Turus Pelek ini merupakan suatu
tanda perjanjian kedua mempelai yang secara sadar bahwa mereka akan membina
rumahtangga mereka ibarat Turusnya
berupa Lamiang yang ada dengan hati
jernih, saling mencintai, mengerti satu sama lain, saling bantu membantu dalam
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan berumahtangga.
Pinggan
Pananan Pahanjean Kuman, adalah materi simbolis berupa
seperangkat peralatan makan bagi kedua mempelai. Pinggan Pananan Pahanjean Kuman
ini merupakan simbol untung ukur tuah
hambit (rejeki) kedua mempelai yang bersama-sama dalam membangun
rumahtangga dengan satu rasa, satu hati dan tanggungjawab bersama dalam
menjalani pahit manis kehidupan secara bersama-sama.
Jangkut
Amak, adalah materi simbolis berupa peralatan tidur kedua mempelai. Jangkut Amak ini melambangkan
kesiapan seorang pria untuk memasuki
kehidupan berumahtangga.
Rapin
Tuak,
adalah materi simbolis berupa minuman tuak dengan jumlah seperlunya yang akan
digunakan pada saat acara Haluang Hapelek.
Rapin Tuak ini merupakan simbol
luapan kegembiraan atas perkawinan yang akan berlangsung sehingga dibagikan
kepada para undangan yang hadir pada saat Haluang
Hapelek namun hanya dalam jumlah yang terbatas. Selain itu tuak ini
digunakan sebagai sesajen pada saat upacara perkawinan.
Bulau
Ngandung, merupakan biaya pesta perkawinan yang berfungsi untuk menyiapkan
jamuan bagi para kerabat dan tamu undangan yang datang memberikan doa restu atas
perkawinan. Bulau Ngandung ini
merupakan ungkapan terima kasih atas doa restu semua sahabat, sanak keluarga
kedua belah pihak dan para undangan serta sebagai ungkapan syukur dan terima
kasih kepada Tuhan atas anugerahnya sehingga perkawinan tersebut dapat
berlangsung.
Batu
Kaja, adalah materi simbolis berupa benda adat seperti gong atau bisa
juga emas murni yang beratnya ditentukan berdasarkan kesepakatan ataupun berupa
barang berharga lainnya. Batu Kaja
ini dibayar pada saat upacara Pakaja
Manantu. Batu Kaja ini bukan dari
mempelai laki-laki melainkan dari orang tua mempelai laki-lakinya. Batu kaja
merupakan ungkapan rasa bahagia dan wujud cinta kasih orang tua mempelai
laki-laki terhadap menantunya yang bersedia menerima anaknya sebagi seorang
suami dan bersedia merawat serta sampai mengasuh cucu-cucu mereka nantinya.
Seperti
itulah ke–16 (enam belas) butir Jalan Hadat
dalam upacara perkawinan pada masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju yang
harus diwujudkan dengan nyata, dapat didengar, dilihat dan dirasakan sebagai
benda simbolis sikap moral. Dimana sebenarnya bukan jumlah satuan materinya
yang menjadi sasaran penting melainkan yang lebih utama adalah nilai etika
tingkah laku manusianya yang diharapkan tercipta dari penerapan Jalan Hadat tersebut. Karena pada dasarnya materi simbolis berupa Jalan Hadat ini merupakan bentuk sikap moral
kesopanan seorang laki-laki terhadap perempuan dan keluarganya.
Sebuah perkawinan yang ideal menurut Hindu Kaharingan adalah
sebuah perkawinan yang sesuai dengan Pelek
Rujin Pangawin (Pedoman dasar perkawinan) Indu Sangumang dan ketentuan-ketentuan yang disebut dengan
ketentuan adat kawin. Ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah :
1.
Orang kawin harus sesuai garis
keturunannya
2.
Dalam perkawinan Dayak, pihak
laki-laki yang datang ke rumah pihak perempuan dan membayar Palaku yaitu mas kawin
3. Pihak wanita yang menerima harus
mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan pihak laki-laki.
4. Laki-laki dan perempuan yang
menjadi suami istri mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama terhadap
pembinaan rumah tangga dan keturunan.
5. Pihak yang menimbulkan perceraian
atas perkawinannya harus menanggung dan mengganti kerugian perkawinan. (Tim
Penyusun, 1998 : 9-10)
Jalan Hadat
secara umum bermakna sebagai pengikat antara suami istri yang tidak bisa
diputus, karena jika Jalan Hadat
tidak dibayarkan, maka tidak adanya Surat Perjanjian Kawin, dengan demikian
tidak adanya sebuah perkawinan. Dengan
adanya isyarat-isyarat adat berupa adanya Jalan
Hadat dalam upacara perkawinan ini merupakan salah
satu upaya untuk menunjang kelestarian sikap moral dalam rangka membangun diri
manusia dan menjaga keharmonisan hidup manusia dengan Tuhan, sesama dan
lingkungan.
Pembayaran
16 (enam belas) butir materi simbolis sikap moral kesopanan dalam Jalan Hadat adalah menuntut pihak pengantin
laki-laki mematuhi norma terhadap keluarga pihak pengantin perempuan dan ikrar
untuk menjaga keutuhan rumahtangga yang akan dibangun yang dilakukan dengan
disaksikan oleh Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa yang dalam hal ini
dimanifestasikan dengan Kameluh Putir
Santang, para leluhur dan masyarakat.
Dari keseluruhan Jalan Hadat
tersebut ada yang bermakna khusus bagi kedua mempelai itu sendiri, bagi
keluarga maupun masyarakat. Pembayaran Tutup
Uwan, Sinjang Entang, Pakaian Sinde Mendeng, Saput, Lapik Luang, Bulau
Ngandung, Duit Turus di atas merupakan suatu simbol yang bermakna sikap
sopan santun atau penghormatan penganten laki-laki dan keluarganya terhadap
keluarga dekat, keluarga jauh pihak penganten perempuan serta masyarakat yang
diundang menghadiri upacara perkawinannya. Sedangkan pembayaran Palaku, Garantung Kuluk Pelek, Lamiang Turus
Pelek, Bulau Singah Pelek, Duit Lapik Ruji, Pinggan Pananan Pahanjean Kuman
dan Jangkut Amak merupakan perlambang
ikrar dan tekad kedua penganten tersebut untuk membentuk keluarga rumahtangga
yang sejahtera dan harmonis.
Ajaran-ajaran
suci dan luhur yang terkandung dalam ajaran tentang perkawinan memberikan
pelajaran yang berharga bagi umat Hindu Kaharingan dalam menjalani kehidupan. Karena hahekat
perkawinan tidak hanya merupakan dorongan biologis saja, akan tetapi lebih
tinggi lagi yaitu tuntutan psikologis untuk mendapatkan keturunan dan membangun
sang diri manusia secara utuh. Karena dalam upacara perkawinan memberikan nilai
yang baik yaitu mendidik dalam mewujudkan cita-cita dan kebahagiaan hidup.
Demikian juga halnya dengan pemberlakuan Jalan
Hadat
dalam perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju yang inti
utamanya adalah bagaimana mengajarkan sikap moral dalam membentuk rumahtangga
atau dalam perkawinan. Sikap dan perilaku yang baik perlu dipertahankan dan
ditingkatkan adalah berkata secara jujur dan bertindak secara layak dan pantas
agar menjadi paradigma moral bagi sesama yang lain, terutama bagi generasi
muda yang belum matang dan masih dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan. Dengan kata lain harus ada persesuaian
antara perkataan dengan perbuatan. Dengan mempertahankan hubungan hubungan
sosial yang selaras. Diharapkan pula bahwa mereka selalu berupaya untuk
mengendalikan diri dari hawa nafsu dan perbuatan tercela, terutama tidak
melakukan hubungan seksual diluar nikah agar pelaksanaan upacara sebuah
perkawinan bukan hanya merupakan sebuah simbol saja.
kewajiban bagi seorang mempelai laki-laki untuk membayar Jalan Hadat bagi mempelai perempuan dalam
perkawinan pada masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju yang mana dari
sini dapat kita lihat bahwa dalam kebudayaan masyarakat Dayak perempuan begitu
dihormati, sehingga tidak boleh diperlakukan sembarangan. Dalam memperoleh
seorang perempuan sebagai istri, seorang laki-laki harus mempunyai dan
menerapkan nilai-nilai etika moralitas terhadap perempuan dan keluarganya.
Melalui penerapan Jalan Hadat
ini kita dididik agar bisa menghargai, menyayangi dan menghormati orang lain.
Penerapan Jalan Hadat dalam upacara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju, sesungguhnya yang menjadi intinya
adalah bagaimana sebuah komunikasi yang akan terjalin antara keluarga luas dari
pihak-pihak yang bersangkutan serta menunjang kelestarian sikap moral dalam
rangka membangun diri manusia dan menjaga keharmonisan hidup manusia dengan
Tuhan, sesama dan lingkungan.
(Oleh : Nali Eka, S.Ag, Msi)
(Oleh : Nali Eka, S.Ag, Msi)
No comments:
Post a Comment