Sorga dan Nereka Dalam Imaginasi Berbagai Agama |
D
|
ua Dunia (dunia kehidupan dan setelah kehidupan)
Pada umumnya ada dua dunia yang menjadi
tujuan agama, yaitu dunia kehidupan
saat ini dan dunia
setelah kehidupan atau dunia akhirat. Dunia kehidupan saat ini dalam kitab Suci Panaturan disebut Pantai Danum
Kalunen, Luwuk Kampungan Bunu yaitu dunia atau alam kehidupan manusia saat ini, dunia ini juga diungkapkan sebagai lewu injam tingang rundung nasih nampui
burung yaitu dunia fana yang sifatnya semantara saja dan tidak kekal dari
kematian, ketika saatnya tiba maka setiap yang hidup di dunia ini akan pergi
meninggalkan dunia dan segala yang dimilikinya selama hidup untuk selama –
lamanya (mati).
Dunia setelah kehidupan atau dunia akhirat adalah dunia yang
akan dihuni kelak oleh semua yang telah mati. Secara umum agama – agama
mengklasifikasi dunia setelah kehidupan menjadi sorga dan neraka
(khususnya Islam dan Kristen). Sorga adalah dunia yang digambarkan penuh dengan
kebaikan, keindahan, dan kenyamanan yang hanya akan diberikan kepada orang yang
telah melakukan kebaikan serta melaksanakan ajaran agamanya (ibadah) dengan
benar selama menjalani kehidupannya di dunia fana. Sementara neraka adalah
kebalikan dari sorga, yaitu sebuah tempat hukuman berupa siksaan bagi manusia
yang telah melakukan kejahatan dan mengabaikan ajaran agamanya selama
menjalankan kehidupan di dunia fana. Neraka digambarkan sebagai dunia yang penuh dengan api
dan penuh dengan penderitaan. Dua dunia (sorga dan neraka) tersebut berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan.
Dalam pandangan agama yang meyakini sorga dan neraka, perilaku
hidup di dunia kini menentukan tempat hidup kita di
akhirat, oleh sebab itu kita tidak jarang
mendengarkan kata – kata ancaman jika melakukan kejahatan atau kesalahan akan
masuk neraka, begitu juga sebaliknya jika melaksanakan ibadah tertentu, kelak
akan mendapatkan jaminan atau hadiah masuk sorga jika seseorang mati (meski dalam
Hindu Kaharingan tidak ada doktrin seperti ini).
Mengapa
umat Hindu Kaharingan jarang membicarakan tentang sorga atau neraka?
Hindu Kaharingan menyebut dunia setelah kehidupan dengan lewu tatau habaras
bulau, habusung hintan, hakarangan lamiang, lewu ije dia rumpang
tulang, rundung isen kamalesu uhat yaitu
dunia yang penuh dengan kebahagiaan, dunia di mana tidak ada lagi dirasakan
kelelahan, sakit dan sebagainya. Jika dibandingkan dengan ajaran Kristen dan
Islam, maka lewu tatau hampir sama dengan
sorga. Bagaimana dengan neraka? Hampir tidak pernah kita mendengar kata neraka
atau sejenisnya disebutkan dalam Kitab Suci Panaturan atau tuturan mantra
ritual lainnya. Apakah orang Hindu Kaharingan tidak berminat masuk neraka?
Tentu saja.
Ajaran Hindu Kaharingan memang tidak mengenal dunia
setelah kematian yang bernama neraka, karena kematian menurut Hindu Kaharingan
adalah buli hinje Ranying Hatalla Langit “pulang kembali bersama Tuhan”. Kematian bagi Hindu Kaharingan bukanlah sebuah hukuman, tetapi
merupakan janji atau takdir yang telah digariskan oleh Ranying Hatalla Langit
(Tuhan) kepada manusia sebagai utus
panakan (keturunan) Raja Bunu bahwa ketika saatnya tiba akan kembali
kepadaNya.
Raja Bunu adalah saudara kembar tiga dengan Raja Sangen, Raja Sangiang dari
ayah Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut Sahawung Tangkaranan Hariran dan
ibu Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Balimut Batu Kamasan Tambun. Kedua
saudaranya, Raja Sangen dan Raja Sangiang beserta keturunannya hidup abadi di Pantai Danum Sangiang (khayangan),
sementara keturunan Raja Bunu akan menempati Pantai Danum Kalunen Luwuk
Kampungan Bunu (dunia fana). Namun Ranying Hatalla Langit tidak mengabaikan
begitu saja nasib Raja Bunu dan
keturunannya, Ranying Hatalla Langit menegaskan bahwa keturunan kedua
saudaranya tadi bisa membawa Raja Bunu dan keturunannya kepada Ranying Hatalla
Langit. Berikut kutipan Kitab Panaturan
Pasal 29 ayat 4 – 5:
4. Hete Ranying Hatalla Langit
bapander panjang umba Raja Bunu “Tuh Bitim palus panarantang aim, akan ilaluhan
kareh manyuang batang petak ije jadi injapaKu, hayak inyewutku jete Pantai
Danum Kalunen tuntang panarantang aim te dapit jeha puna bagie matei”.
Disitulah Ranying Hatalla Langit berfirman kepada Raja Bunu
“Engkau dan keturunanmu pada saatnya nanti akan diturunkan untuk menempati
dunia yang sudah diciptakan yaitu Pantai Danum Kalunen (dunia fana) dan
keturunanmu kelak jika waktunya tiba akan menemui kematian”.
5. Tinai, kuan Ranying Hatalla Langit
“Ela Bitim ngumpang basule huangmu nahingan pahariwut raweiku, tarantang aim
dia memen bewei, aluh ewen te puna bagin matei, te kareh tege panarantang
tambun paharim ije dia tau matei, ije akan haduanan ewen te kareh buli manalih
aku”.
Kemudian, Ranying Hatalla Langit berfirman “Jangan pula Engkau
merasa kecewa menerima takdirmu, meskipun keturunanmu takdirnya akan mati,
mereka tidak usah kuatir, karena keturunan saudara – saudaramu yang hidup kekal
dan tidak bisa mati akan menuntun mereka menuju Aku”.
Salahkah
menjalani kehidupan dan ibadah hanya untuk tujuan sorga atau neraka?
Bersyukurlah karena ajaran Hindu Kaharingan tidak menetapkan
tujuan hidup dan ibadah manusia pada sorga dan neraka, karena jika tujuan agama
hanya semata – mata pada kedua hal di atas, maka segala cara akan dilakukan
untuk memenuhinya, bahkan hingga mengabaikan nilai – nilai kemanusian. Hindu
Kaharingan menetapkan ajaran yang bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia
secara menyeluruh.
Neraka bagi Hindu Kaharingan pada dasarnya adalah penderitaan
hidup. Penderitaan dalam hal ini
bersifat rekonstruktif
(melakukan perbaikan/penataan kembali), karena penderitaan akan menyadarkan manusia akan
kesalahannya untuk kemudian memperbaikinya. Tujuan sorga dan neraka lebih
kepada tujuan untuk membangun moralitas dan etika dalam
mengembangkan kesadaran dan peningkatan spritualitas manusia. Lalu, mengapa kita tidak boleh mencuri? Mengapa kita tidak boleh membunuh? Apakah Tuhan akan rugi, marah dan sakit hati jika kita
membunuh atau mencuri? TIDAK, karena Tuhan adalah maha maha dan maha sempurna,
sehingga Tuhan tidak akan marah dan sakit hati kalau kita mencuri
atau membunuh, kita tidak boleh melakukan semua
itu semata – mata karena perbuatan
itu akan menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi orang lain. Jadi, bila kita tidak melakukan perbuatan tersebut hanya
karena takut pada Tuhan, itu kurang tepat. Perasaan takut pada Tuhan hanya semata-mata berkaitan
dengan rasa bersalah, dosa dan perbuatan. Ketakutan pada Tuhan membuat sebagian
orang berasumsi bisa menyelesaikan atau meredamnya dengan taat beribadah,
seolah-olah Tuhan adalah bapak yang ABS (asal bapak senang). Tapi, jika penekanannya adalah etika moral, demi menjaga
hubungan antar-mahkluk (manusia), penghargaan atas hak hidup orang lain, ini
lebih rasional dan manusiawi. Karena penderitaan yang dialami orang lain akibat
perbuatan kita adalah nyata dirasakan, jadi tidak bisa dikompensasikan (ganti rugi) dengan
materi atau pertobatan semata.
Ajaran Hindu Kaharingan lebih menekankan manusia utnuk berpikiran
baik agar dapat menimbulkan perkataan yang baik dan diterapkan dalam perbuatan
baik kepada sesama manusia, bahkan kepada alam sekitarnya demi kenyamanan dan
kebahagiaan seluruh umat manusia di dunia. Ibadah agama menurut Hindu
Kaharingan merupakan kewajiban yang dilaksanakan oleh manusia sebagai wujud
bhakti kepada Sang Pencipta, bukan karena mengejar sorga. Hindu Kaharingan juga
tidak memperkenankan umatnya untuk melakukan segala cara (bahkan dengan
melakukan kejahatan dan pembunuhan terhadap sesama) untuk memperoleh sorga.
Karena lewu tatau bukanlah hadiah,
tetapi tempat kembalinya manusia setelah dia mengarungi samudera kehidupan.
Sorga dan neraka merupakan bagian penting, tetapi bukan yang paling
penting bagi umat Hindu. Kedua alam tersebut hanya bisa ditemui setelah badan
atau tubuh mati, berarti yang berada di dunia sana
hanyalah panyalumpuk hambaruan (roh) bukan badan, ini juga berarti bahwa segala kenyamanan
dan keindahan atau pun keburukan penderitaan yang ada di sana hanya kiasan
semata karena tidak bisa dirasakan lagi oleh badan
manusia. Hindu Kaharingan tidak pernah mengapling
atau mengklaim sebagai pemilik sorga yang benar, juga tidak pernah memonopoli jalan keselamatan, tentang umat yang terpilih, ajaran paling
benar (sebagaimana ajaran lain). Memang sebaiknyalah demikian, bukankah sebenarnya kebenaran yang sebenarnya adalah relatif. Manusia hanya bisa
berbuat maksimal dengan menjalankan kewajibannya untuk menghormati hak-hak
orang lain menjalankan ibadah agamanya, bila manusia melanggar hal tersebut berarti juga melanggar kewajibannya
terhadap Tuhan. Manusia tidak akan mungkin bisa membalas semua
perlakuan Tuhan terhadap manusia, ritual dan ibadah saja tidak cukup. Berikut
ini adalah salah satu pampeteh tatu hyang
yang kiranya dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan:
Ulun kalunen
uka tau – tau mahaga kayun penyang karuhei belum. Belum penyang hinje simpei
paturung humba tamburak badehen pakat putar badehen maatuh karangkan lingu, ela
sampai penyang pangarak simpei paturung bakuhas tamburak, tau akan gandang
tatah kulan ketun ije beken.
Dia
narui rawei bajangkang dengan garing kula hasansila, keleh narui rawei balemu
mangat uras bujur kabajuran belum sanang mangat.
Umat manuisa agar pandai – pandai
menjalani pedoman kehidupan, saling bekerjasama satu sama lain, saling
musyawarah, agar bisa menjadi teladan bagi yang lain.
Tidak saling bermusuhan dengan
manusia yang lain, lebih baik hidup saling mengasihi agar hidup senang dan
bahagia.
(Oleh : Sastriadi U Bunu)
(Oleh : Sastriadi U Bunu)
No comments:
Post a Comment