Basir Memimpin Balian |
S
|
uku Dayak yang tersebar di beberapa
bagian pulau Kalimantan memiliki beragam budaya dan bahasa. Keragaman budaya
dan bahasa tersebut tentunya melahirkan keunikan tersendiri bagi negeri ini.
Dalam hal bahasa, salah satu bahasa kuno
yang kini masih bertahan di kalangan masyarakat Hindu Kaharingan di Kalimantan
Tengah adalah bahasa Sangiang. Bahasa
Sangiang adalah bahasa yang hanya
digunakan dalam ritual keagamaan masyarakat Hindu Kaharingan di Kalimantan
Tengah. Bahasa Sangiang tidak lagi
digunakan dalam komunikasi verbal sehari-hari. Bahasa Sangiang kini hanya bisa
ditemukan secara tertulis dalam Kitab Suci Panaturan dan mantra Tawur serta
balian yang telah dibukukan (hingga saat ini tidak semuanya telah dibuat
tertulis), selebihnya bahasa Sangiang hanya bisa didengar ketika para Basir
atau Pisor (rohaniawan Hindu Kaharingan) menuturkan mantra – mantra ritual pada
upacara keagamaan.
Dalam konstruksinya sebagai sebuah bahasa, bahasa Sangiang sebenarnya memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa sehari – hari lainya. Kenyataan tentang keunikan bahasa Sangiang yang digunakan dalam tuturan atau mantra ritual suku Dayak Kalimantan Tengah ini pertama kali dicatat oleh seorang penerjemah Injil bernama Harderland dalam sebuah karangan yang berjudul Versuch einer Grammatik der Dajacksen Sprache pada tahun 1858. Dalam karangannya tersebut Harderland mengungkapkan bahwa ”sifat basa Sangiang puitis, penuh penggambaran makna, berkaitan dengan ritme (irama) dan unsur paralelnya yang pendek, bentuk ini menyerupai bahasa penyair Ibrani”. Dalam catatannya Harderland juga mengklasifikasi bahasa Sangiang yang juga disebut dengan sebutan bahasa roh, bahasa suci, dan basa Sangiang dalam 3 (tiga) unsur, yaitu kata-kata Dayak sehari-hari atau juga sedikit diubah; kata-kata Melayu, juga agak diubah, dan; kata-kata khusus yang pemakaiannya tidak terbatas pada bahasa suci saja.
Dalam konstruksinya sebagai sebuah bahasa, bahasa Sangiang sebenarnya memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa sehari – hari lainya. Kenyataan tentang keunikan bahasa Sangiang yang digunakan dalam tuturan atau mantra ritual suku Dayak Kalimantan Tengah ini pertama kali dicatat oleh seorang penerjemah Injil bernama Harderland dalam sebuah karangan yang berjudul Versuch einer Grammatik der Dajacksen Sprache pada tahun 1858. Dalam karangannya tersebut Harderland mengungkapkan bahwa ”sifat basa Sangiang puitis, penuh penggambaran makna, berkaitan dengan ritme (irama) dan unsur paralelnya yang pendek, bentuk ini menyerupai bahasa penyair Ibrani”. Dalam catatannya Harderland juga mengklasifikasi bahasa Sangiang yang juga disebut dengan sebutan bahasa roh, bahasa suci, dan basa Sangiang dalam 3 (tiga) unsur, yaitu kata-kata Dayak sehari-hari atau juga sedikit diubah; kata-kata Melayu, juga agak diubah, dan; kata-kata khusus yang pemakaiannya tidak terbatas pada bahasa suci saja.
Pada tahun 1859, Harderland juga menyusun
sebuah kamus yang memuat sekitar 900 kata dari basa Sangiang ini. Kemudian pada tahun 1966 seorang peneliti
berikutnya, Schärer membuat sebuah penelitian tentang bahasa Sangiang dengan menggunakan
bahan teks dari Harderland. Schärer menemukan bahwa kata-kata sehari-hari
bahasa Dayak pada zaman Harderland telah
berubah menjadi basa Sangiang dalam
jarak waktu 100 (seratus) tahun di tempat Schärer melakukan penelitian. Hasil
dari pengamatan ini bukan berarti bahwa secara keseluruhan kosa kata basa Sangiang telah berubah secara
radikal dan total, namun paling tidak hal tersebut telah menunjukan bahwa
karena terjadinya perubahan dalam bahasa sehari-hari dan kebudayaan
kelompok-kelompok Dayak Ngaju, hubungan antara basa Sangiang dan bahasa sehari-hari juga berubah. Hal ini
mengindikasikan juga bahwa kata – kata yang terdapat dalam bahasa Sangiang pada
awalnya adalah kata – kata sehari namun karena keberadaan kata – kata tersebut
bertahan dan statis dalam tuturan atau mantra ritual, maka tidak mengalami
perubahan sebagaimana perubahan yang terjadi pada kata – kata dalam bahasa
sehari – hari.
Bahasa Sangiang atau basa Sangiang yang
digunakan dalam tuturan atau mantra ritual memiliki keunikan yang terletak pada
sifatnya yang puitis dan bentuknya yang berulang – ulang dan berpasang-pasangan
(istilah linguistik disebut dyadic) yang menurut versi Basir (rohaniwan Hindu Kaharingan) disebut
sebagai bahasa bawi (bahasa
perempuan) dan bahasa hatue (bahasa laki-laki). Konsep berpasangan
yang terdapat dalam bentuk kalimat, klausa, frase, dan kata ini merupakan suatu
kewajiban dalam bahasa Sangiang
selain untuk menciptakan makna-makna kiasan yang puitis dan untuk menciptakan
kesepadanan bunyi yang harmonis juga untuk menjaga keseimbangan penggunaan basa bawi dan basa hatue dalam setiap percakapan. Konsep ini sejalan juga dengan prinsip
kehidupan yang selalu berpasang – pasangan, seperti atas – bawah, sedih –
bahagia, siang – malam, dan lain – lain.
Hampir setiap hal (nama
orang, benda, tempat, dan lain –lain) dalam bahasa Sangiang diungkapkan dengan kata kiasan yang memuat lebih dari 1 (satu)
kata. Sabagai contoh kata ”Ayah” dan ”Ibu” disebut dengan tingang apang dan burung
indang (tingang ”burung Enggang”,
apang ”ayah”, dan burung ”burung”, indang ”ibu”), ”alam semesta” disebut
dengan pantai danum
kalunen luwuk kampungan bunu. Secara terpisah pantai danum kalunen ”tanah air manusia” sudah menggambarkan makna
kiasan yang berarti alam semesta, namun kemudian demi untuk menciptakan rasa puitis
dan untuk menjaga keseimbangan penggunaan basa
bawi dan basa hatue, makna sinonimnya
diulang lagi dengan kata-kata berbeda yaitu luwuk
kampungan bunu ”lubuk kampung Bunu”
Kata-kata yang digunakan
dalam variasi kiasan biasanya mengacu kepada alam semesta, tumbuh-tumbuhan,
hewan, sungai, dan unsur-unsur lain yang berada di lingkungan kehidupan
masyarakat Dayak itu sendiri. Misalnya ”Tuhan” dalam bahasa Sangiang
disebut Ranying Hatalla Langit, Raja
Tuntung Matan Andau, Tuhan Tambing Kabunteran Bulan. Dalam penyebutan Tuhan secara puitis tersebut diungkapkan
dengan memuat 3 (tiga) unsur alam, yaitu langit (langit), matan andau
(matahari), dan bulan (bulan), sedangkan dalam percakapan
sehari-hari Tuhan itu disebut Hatalla saja. Contoh kata lain ialah dalam
penyebutan air suci yang digunakan dalam upacara ritual disebut dengan lengkap danum
nyalung kaharingan belum (danum ’air’, nyalung ’air’, kaharingan ”kehidupan”, belum ”kehidupan/hidup”,
diterjemahkan secara bebas berarti air suci kehidupan. Pengulangan makna
bersinonim nampak lazim dalam bahasa Sangiang.
Contoh
kalimat berpasangan bahasa Sangiang bisa dilihat dalam salah satu bunyi ayat
Tawur berikut:
(1a.) Ela bitim tarewen matei
kalabuan jaringku nduan ambun andau tuh, (1b.) Isen balitam sabanen nihau kalapetan karahku matuk
dinun kalamau katun
Makna kalimat (1a) adalah “Jangan dirimu
terkejut mati keluar dari jari – jariku pada saat hari ini” dan dengan makna
yang sama diulang lagi pada kalimat (1b) “Jangan Engkau terkejut mati keluar
dari ujung jari tanganku saat ini”
Penulis merekomendasikan jika ingin menerjemahkan bahasa Sangiang dengan cara yang lebih gampang
adalah dengan memilah kalimat tesebut secara berpasangan, dan lalu terjemahkan lurus kata per kata pada kalimat
pertama, maka secara otomatis akan ditemui makna yang sama dalam kalimat
berikutnya, (seperti contoh di atas). Meski tidak jarang jumlah sebaran katanya
tidak sama, tapi secara umum memiliki kesetlian makna.
Eksistensi bahasa Sangiang merupakan realitas budaya yang
merupakan hasil dari ide kreatif leluhur masyarakat Hindu Kaharingan yang
mencerminkan budaya atau pola kehidupan masyarakat pendukungnya. Samudera makna
memang begitu dalam, apalagi jika dikaitkan dengan budaya, ada banyak makna yang
mengandung nilai – nilai positif dan masih relevan bagi kehidupan manusia di
dunia kini. Maka ajakan untuk menjaga dan melestarikan seni budaya dan bahasa
sebagai warisan leluhur sebuah suku bangsa sebenarnya bukanlah sekedar bukti
apresiasi terhadap leluhur belaka, namun lebih dari itu, nilai tuntunan hidup,
etika, pelestarian lingkungan, keagungan Ranying Hatalla Langit, dan
nilai-nilai positif lain yang berada di balik wacana ritual keagamaan Hindu
Kaharingan tersebut sepatutnya diilhami dan dilestarikan. Seperti halnya sebuah
pepatah usang berikut ini nampaknya masih relevan untuk dijadikan prinsip dalam
memperjuangkan kemajuan Hindu Kaharingan, untuk kebaikan tentunya. Pantang mundur manetes hinting bunu panjang,
isen mulang nantesan kamarau ambu ”pantang menyerah dalam berjuang”.
(Oleh : Sastriadi U Bunu)
2 comments:
wahai engkau saudara2ku suku dayak keharingan yang berada nan jauh di sana salam sejahtra,damai selalu buat saudara2ku yang ada disana salam dari saudaramu yang ada di bali nyoman sudarma mudah2an suatu saat nanti saya bisa bertemu dengan saudara2 yg ada disana om shanti shanti shanti om
om swastyastu...
nama saya ningrum. saya tinggal di sidoarjo, jawa timur.
apakah ada nomer kontak yang bisa saya hubungi?
apakah saya bisa minta tolong. saya sedang mencari kabar sahabat saya yang sudah sangat lama tidak berkabar.
yang saya ingat dia tinggal di Palangkaraya. dan pernah bercerita tentang Hindu Kaharingan.
saya sudah lama mencari kabarnya. semoga bisa berkabar lagi.
dulu ayah beliau dan kakaknya pernah menginap di rumah saya.
tapi setelah itu hanya sekali dia menghubungi saya. dan menghilang...
mohon bantuannya...
ini kontak saya ningrumkhrisna@yahoo.com
terimakasih banyak.
om shanti shanti shanti om
Post a Comment