M
|
eninggalnya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid),
pada akhir Desember 2009, bagaikan momentum sebuah perayaan atas pluralisme
agama. Doa bersama oleh tokoh berbagai agama dilakukan baik di kediaman
mendiang, maupun di tempat ibadah masing-masing, berbagai tulisan diterbitkan,
buku tentang Gus Dur diluncurkan, seperti yang dilakukan di Pura Aditya Jaya
Rawamangun, tanggal 8 Februari yang dihadiri oleh perwakilan keluarga,
perwakilan majelis agama para sahabat yang memberikan testimoni, diikuti dengan
doa bersama.
Penghormatan ini memang pantas. Karena jasanya
yang besar untuk mengembangkan pluralisme agama di Indonesia, yang dilakukannya
secara konsisten sejak muda, melalui tulisan-tulisannya di media masa, dialog
yang dilakukannya ketika menjadi ketua umum PBNU, dan keputusan yang diambilnya
ketika menjadi Presiden, yang paling fenomenal adalah pengakuannya terhadap
agama Konghucu dan diperbolehkannya perayaan Imlek. Gus Dur juga sering datang
ke pura dan ashram di Bali dan ikut sembahyang dan bhajan.
Namun di balik perayaan itu, yang melambangkan optimisme akan pluralisme di Indonesia, yang sebetulnya sudah dirumuskan oleh Mpu Tantular pada abad 15, terselip juga kekhawatiran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang di dalamnya terdapat wakil-wakil dari organisasi massa Islam besar seperti NU dan Muhammadyah beberapa tahun lalu mengeluarkan fatwa mengharamkan pluralisme agama. Sekalipun mendapat kritik keras dari berbagai kalangan sampai saat ini fatwa itu belum dicabut.
Apakah pluralisme dan mengapa ada yang mendukung
dan menentangnya? Definisi teknis pluralisme agama diberikan secara lengkap
oleh Diane L. Eck, professor filsafat India di Universitas Harvard, AS. Orang-orang
Hindu menganalogikan pluralisme ini seperti taman dengan berbagai pohon bunga
yang berbeda, dan itu justru membuat taman itu indah.
Ini mungkin pengandaian yang naïve. Agama
pastilah tidak sama dengan bunga. Bunga sekedar memuaskan rasa estetika, tetapi
agama mempengaruhi filosofi, etika, sikap mental dan perilaku atau cara hidup
pemeluknya. Agama adalah keprihatinan terakhir (the ultimate concern).
Orang-orang siap mati untuk membela agamanya.
Agama-agama Timur, seperti Hindu, Buddha, Jain
dan Sikh tidak mengalami kesulitan untuk menerima pluralisme agama. Sikap
pluralistik itu berakar di dalam ajarannya. Sementara agama-agama Semitik
bersifat anti pluralisme. Paus Benedict XVI, pemimpin Gereja Katolik Roma,
menolak menghadiri doa bersama para tamunya, para tokoh berbagai agama di dunia
yang diundangnya untuk acara dialog antar agama, yang diadakan di Vatikan,
2007. Karena bila dia ikut dalam doa bersama itu, akan memberi kesan bahwa dia
mengakui semua agama memiliki kebenaran yang sama. Tuan rumah yang arogan.
Masing-masing dari agama Semitik, merasa
diberikan kedudukan khusus oleh Tuhannya: Mereka orang yang diselamatkan, yang
lain dikutuk. Privelese ini diberikan secara gratis. Tidak perlu syarat apapun,
intelektual, moral atau spiritual, kecuali iman. Karena itu pula keunggulan
iman ini tidak menghasilkan keunggulan intelektual, moral dan spiritual.
Lalu di mana keunggulan itu terwujud? Di dunia
setelah kematian! Mereka otomatis masuk surga. Setelah kiamat, yang entah kapan
terjadi. Mereka adalah pemegang monopoli surga yang penuh kenikmatan badani.
Untuk mempertahankan monopoli itu, mereka tidak segan-segan menggunakan
kekerasan, baik terhadap orang dari agama lain, maupun terhadap sekta lain di
dalam agama itu sendiri.
Ted Turner, pemilik CNN, dalam suatu pertemuan
puncak para pemimpin agama dunia, yang disponsori oleh PBB tahun 1999, mengatakan,
ia pernah ingin menjadi pendeta, tetapi mengurungkan niatnya, karena tidak
ingin masuk surga. Kenapa? Surga sangat sepi, karena hanya diisi oleh
orang-orang dari sektenya sendiri yang jumlah pengikutnya sedikit. Sedangkan
sebagian besar umat manusia dimasukkan neraka oleh tuhan sektenya.
Turner mungkin tadak tahu, pluralisme agama
pastilah disertai pluralisme surga. Tiap-tiap agama memiliki surganya sendiri.
Hindu sudah memiliki surganya sendiri, jauh sebelum pendiri Kristen dan Islam
lahir. Dan para pengikutnya tidak menginginkan surga milik agama lain. Ketidak
tahuannya itu memberi keuntungan baginya: dia membangun kerajaan media – bukan
kerajaan surga - yang memberi pencerahan kepada seluruh dunia. Orang-orang dari
berbagai agama, mestinya bekerja sama membangun masyarakat yang makmur,
tercerahkan dan damai. Karena surganya sudah dijamin, bagi yang memiliki keunggulan
moral dan spiritual.
(Oleh : Ngakan Putu Putra)
No comments:
Post a Comment