udah miliaran tahun bahkan lebih bumi ini ada, banyak orang ingin tahu
tentang bagaimana proses dan siapa yang pertama menjadi penghuninya, telah
banyak pula teori-teori dan pakar-pakar ilmiah mencari tau, begitu juga
kitab-kitab agama di dunia ikut memaparkan hal tersebut. Lalu, bagaimana
pandangan ajaran Hindu Kaharingan di dalam pustaka sucinnya?
Banyak
orang membicarakan tentang awal siapa yang menjadi penghuni pertama bumi yang
maha luas ini, para ahli berusaha meneliti secara ilmiah dari manakah semua itu
berasal. Ada berbagai versi dan jawaban yang dikemukan di sana, bahkan seorang
ahli (Charles Darwin) menyatakan bahwa manusia adalah hasil dari sebuah
perjalanan panjang evolusi dari binatang kera, selain para ilmuwan yang mencari
dasar dari sudut pandang ilmiah, banyak juga berbagai macam kitab suci dari
berbagai agama di dunia memaparkan tentang siapa yang pertama ada dan menghuni
bumi ini, di antara agama-agama tersebut yang sudah dikenal oleh khalayak
banyak adalah konsep menurut keyakinan Kristen dan Islam yang menyatakan bahwa manusia
pertama adalah Adam dan Hawa, kedua orang inilah yang diyakini
sebagai cikal bakal manusia di bumi ini. Namun Hindu Kaharingan punya doktrin lain
yang berbeda tentang konsep atau proses munculnya manusia serta siapa yang
merupakan cikal bakal umat manusia di bumi.
Bagaimanakah
konsep adanya manusia menurut Hindu Kaharingan?
Proses penciptaan
manusia menurut Hindu Kaharingan dijelaskan secara panjang lebar di dalam kitab
suci Panaturan. Proses adanya manusia
di muka bumi tidak langsung ada begitu saja, tetapi melalui tahapan yang
panjang, proses itu dimulai
atas kuasa
dan kehendak Ranying Hatala Langit
dan Jatha Balawang Bulau. Dua bentuk
kekuasaan tersebut digambarkan berupa pancaran yang berasal dari Bukit Bulau dan Bukit Hintan, kedua pancaran atau sinar tersebut bertemu dan saling
menyatu sehingga menghasilkan dua insan yang disebut Manyemei Malingar Langit (laki-laki) dan Kameluh Bajarumat Hintan (perempuan).
Kedua
insan ini berada di sebuah tempat yang disebut Bukit Bulau Kangantung Gandang Kereng Rabia Nunyang Hapalangka Langit,
di tempat itulah Ranying Hatalla Langit berfirman kepada mereka berdua bahwa
tugas dan tanggung mereka adalah menjaga semua yang telah diciptakan oleh
Ranying Hatalla Langit. Pada suatu ketika mereka berdua berjalan – jalan
mengitari alam semesta yang telah diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit, dalam
perjalanan itu Kameluh Bajarumat Hintan menggendong
Sangku Bulau (sejenis bokor emas)
yang berisi danum nyalung kaharingan
belum (air suci kehidupan). Entah mengapa di dalam perjalanan tersebut
secara tidak sengaja danum nyalung
kaharingan belum tersebut tertumpah, air tumpahan itu berubah menjadi
telaga besar. Manyamei Malinggar Langit
dan Kameluh Bajarumat Hintan melihat
ke telaga itu, dan terlihatlah oleh mereka dua bayangan yang menyerupai diri
mereka berdua. Bayangan tersebut kemudian berubah wujud menjadi dua sosok yang
menyerupai mereka berdua. Kedua wujud tersebut mengaku dirinya sebagai sang
pencipta matahari, bulan, bintang, langit, bumi, dan alam semesta serta seluruh
isinya, yang laki – laki menyebut dirinya dengan nama Manyamei Tempun Telun Tingang dan Kameluh Tempun Tiawun Tinggang. Kedua wujud ini menggoda Manyamei Malinggar Langit dan Kameluh Bajarumat Hintan agar bersama –
sama menciptakan lagi apa yang sudah diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit,
dan akhirnya Manyamei Malinggar Langit
dan Kameluh Bajarumat Hintan pun
tergoda untuk ikut melakukan hal itu.
Karena
kuasaNya, Ranying Hatalla Langit sebenarnya
mengatahui hal itu, karena tindakan mereka ini dianggap merusak apa yang
sudah diciptakan olehNya, kemudian Dia meleburkan semua yang telah diciptakan
oleh Manyamei Malinggar Langit dan Kameluh Bajarumat Hintan bersama dengan Manyamei Tempun Telun Tingang dan Kameluh Tempun Tiawun Tinggang. Sebagai
hukuman atas kesalahan ini, Ranying Hatalla Langit lalu meleburkan kembali Manyemei Malinggar Langit dan Kameluh Bajarumat Hintan dan
disemayamkan ke dalam Kayu Erang Tingang. Setelah sekian lama dileburkan, maka atas
kehendak Ranying Hatala Langit keluarlah sinar atau pancaran dari Kayu Erang Tingang tersebut. Pancaran
itu berubah menjadi dua wujud, wujud laki-laki yang diberi nama Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
yang bertempat di Kalimbahan Laut
Mangantung Nyelem Kalang Labehu
Handalem dan yang berwujud perempuan bernama Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun
bertempat di Jalayan Hulu Danum.
Kedua
sosok ini akhirnya bertemu dan tinggal bersama di Lasang Bangkirai Bahenda Sambung (sebuah tempat seperti rumah) di
sebuah tempat yang bernama Lewu Batu
Nindan Tarung. Setelah sekian lama mereka tinggal bersama tanpa ikatan
perkawinan, Kameluh Putak Bulau
mengalami pajanjuri daha (keguguran)
hingga dua belas kali. Mengetahui hal demikian, Ranying Hatala Langit lalu
memerintahkan Raja Uju Hakanduang
untuk melaksanakan upacara perkawinan bagi keduanya. Tidak lama setelah mereka
melaksanakan perkawinan, Kameluh Putak
Bulau pun akhirnya hamil dan melahirkan kembar tiga anak laki-laki yang
kemudian diberi nama Raja Sangen, Raja
Sangiang, dan Raja Bunu.
Dalam
perjalanan hidupnya di pantai danum
sangiang (alam sangiang) ketiga saudara kembar ini mengalami banyak
peristiwa, secara khusus Raja Bunu
mengalami peristiwa – peristiwa yang sangat berbeda dari kedua saudaranya.
Peristiwa pertama
yang dialami oleh Raja Bunu adalah Dia tidak bisa tumbuh sehat dan besar dengan
hanya memakan pantar pinang (sirih
dan pinang) seperti kedua saudaranya. Melihat hal demikian Ranying Hatala Langit kemudian menganugerahkan behas nyangen tingang (beras) yang ditaruh di dalam lalang tambangap langit sebagai bahan
makanan Raja Bunu. Setelah makan behas
nyangen tingang barulah Raja Bunu
bisa tumbuh sehat dan normal.
Peristiwa kedua
yang mereka alami adalah ketika ketiganya beranjak dewasa. Pada suatu ketika
mereka sedang mandi di tepian sungai di Bukit
Batu Nindan Tarung dan mendapatkan sepotong besi yang separuhnya terapung
dan separuhnya tenggelam di air. Secara bersamaan ketiga saudara ini berusaha
untuk mengambil besi tersebut, Raja
Sangen dan Raja Sangiang secara
kebetulan memegang besi tersebut pada bagian yang terapung, sementara Raja Bunu memegang bagian yang
tenggelam. Ketiga bersaudara lalu membawa potongan besi tersebut ke rumah dan
menyerahkannya kepada ayah mereka Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut, sang ayah lalu memotong besi tersebut
menjadi 3 bagian sesuai dengan bagian yang dipegang masing – masing. Masing –
masing potongan besi tersbut dibuat oleh sang ayah menjadi senjata yang diberi
nama Duhung Papan Benteng (senjata
yang mirip mata tombak).
Peristiwa ketiga, di
hari dengan berbekal senjata duhung papan
benteng ketiga bersaudara ini pergi berburu di Bukit Engkan Penyang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Dalam
perjalanan berburu tersebut mereka menemukan Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan (binatang
sejenis gajah). Tidak ingin buruannya lepas, mereka bertiga berlomba menikam Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan dengan senjata Duhung Papan Benteng. Raja Sangen dan
Raja Sangiang berkali – kali menikam hewan tersebut, namun setiap kali hewan
tersebut terluka, di saat itu juga luka hewan itu langsung sembuh tak berbekas.
Lain halnya dengan Raja Bunu, sekali
saja Dia menghunjamkan senjatanya, maka hewan tersebut langsung terluka dan
darahnya pun berceceran di sepanjang pelariannya. Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang terus berlari dari arah
matahari terbenam menuju matahari terbit untuk menyelamatkan diri. Darahnya
yang berceceran di tanah berubah menjadi emas, intan, tumbuh – tumbuhan, dan
barang – barang berharga lainnya.
Peristiwa keempat,
kemudian pada suatu ketika sang ayah menyuruh anak – anaknya untuk memotong
dahan Sangalang Pating Nyahu yang
mana dahan – dahan tersebut mengarah kedua arah yaitu ke arah matahari terbit (pambelum) dan matahari terbenam (pembelep). Raja Sangen dan Raja Sangiang
mengambil bagian untuk memotong dahan yang mengarah ke matahari terbit,
sedangkan Raja Bunu memotong dahan yang mengarah ke matahari terbenam. Ketika
dahan Sangalang Pating Nyahu dipotong
oleh Raja Sangen dan Raja Sangiang, seketika itu juga dahan tersebut hidup
kembali dan bahkan semakin bertambah banyak. Tidak demikian halnya apa yang
dilakukan oleh Raja Bunu, sekali saja memotong dahan tersebut langsung jatuh
dan mati.
Peristiwa kelima,
ketika ketiga saudara kembar ini semakin dewasa tibalah saatnya mereka untuk
mendapatkan pasangan hidup. Raja Sangen dan Raja Sangiang mendapatkan pasangan
hidup yang berasal dari perwujudan Batang
Haring yang berubah menjadi sosok yang diberi nama Kameluh Kambang Garing dan Kameluh
Pusun Garing. Sementara itu, Raja Bunu mendapat pasangan hidup hanya berupa
patung yang terbuat dari Petak Kalabien
Bulan Nyalung Bayan Hintan Kaharingan (tanah) dan belum hidup karena tidak
mempunyai nafas. Untuk menghidupkan patung ini, Raja Bunu harus berjuang untuk
memperoleh danum nyalung kaharingan belum (air kehidupan) dari Ranying
Hatalla Langit.
Untuk
menghidupkan calon pasangan hidupNya, Raja Bunu pun menemui Ranying Hatalla
Langit untuk meminta danum nyalung
kaharingan belum yang kemudian diterimanya dalam wadah luhing pantung tingang (sejenis pakaian). Setelah luhing pantung tingang itu berisi air
kehidupan, tiba-tiba saja langsung terlepas oleh Raja Bunu, karena benda
tersebut itu langsung hidup dan berubah menjadi tingang rangga bapantung nyahu (burung enggang) yang terbang seraya
mengeluarkan suara yang keras. Setelah kejadian tersebut Raja Bunu kembali
meminta air kehidupan kepada Ranying Hatalla Langit untuk kedua kalinya, air
kehidupan pun diberikan dan disimpan dalam wadah lumpang bulau tanduk tambun (tanduk naga), lagi – lagi benda itu
langsung hidup dan terlepas dari tangan Raja Bunu serta berubah menjadi Tambun Baputi Ihing Bajaleang (sejenis
naga) langsung menyelam ke dasar laut.
Melihat
kejadian yang dialaminya secara berulang – ulang, Raja Bunu pun pulang menemui
kedua orang tuanya, karena tidak mampu menghidupkan patung yang terbuat dari
tanah yang diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit. Kepada orang tuanya Raja
Bunu menceritakan kegagalan yang dialaminya secara berulang – ulang kali. Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau pun menasehati Raja
Bunu untuk tidak berhenti berusaha untuk meminta air suci kehidupan kepada
Ranying Hatalla Langit, karena sebenarnya semua cobaan dan rintangan yang
dihadapi Raja Bunu adalah kehendak dari
Ranying Hatala sendiri.
Untuk
ketiga kalinya Raja Bunu kembali pergi menemui Ranying Hatala di Bukit Bulau Kangantung Gandang Kereng Rabia
Nunyang Hapalangka Langit untuk meminta air suci kehidupan. Karena kasihnya
kepada Ranying Hatalla Langit danum
nyalung kaharingan belum yang dimasukan ke dalam wadah Lamiang Bua Garing Belum (lamiang, manik – manik khas Dayak)
diberikan lagi kepada Raja Bunu. Untuk membawa air kehdiupan tersebut sampai
kepada calon pasangan hidupnya, Raja Bunu harus membawa lamiang tersebut dengan cara menggigitnya, kedua ujung lamiang ditutup dengan kedua tanganya.
Ketika dalam perjalanan untuk memberikan air suci kehidupan, Raja Bunu bertemu
dengan Angui Bungai Mamalengai Tingang
yang mengaku dirinya adalah Ranying Hatalla berusaha untuk menggodanya, dengan
menyatakan bahwa air kehidupan tersebut tidak berguna lagi karena calon
pasangan hidupnya telah dihidupkan oleh Angui
Bungai Mamalengai Tingang. Tergoda dengan kata – kata itu, Raja Bunu pun
secara tidak sadar membuka mulutnya sehingga lamiang yang digigitnya terjatuh dan menumpahkan air suci kehidupan
tersebut, tumpahan air ini kemudian berubah menjadi berbagai macam tumbuhan dan
hewan.
Merasa
diganggu oleh Angui Bungai Mamalengai Tingang, Raja Bunu sangat marah dan
“Alangkah teganya engkau menggangguku, dan jika memang engkau Ranying Hatalla
Langit untuk apa engkau menggangguku sampai Lamiang
bua garing belum ini dan patah menjadi dua. Padahal air suci kehidupan ini
akan aku berikan kepada Kameluh Tanteluh
Petak agar kelak keturunanku tidak bisa mati, sebagaimana kedua saudaraku”,
mendengar hal tersebut Angui Bungai
Mamalengai Tingang menjawab “Apa yang engkau kehendaki lagi, bukankah
patung perempuan itu sudah aku hidupkan, lagi pula kalau kehidupan di dunia ini
tidak bisa mati, maka dunia ini nanti akan menjadi penuh oleh mereka”. Tidak
terima dengan perlakuan Angui Bungai
Mamalengai Tingang, lalu Raja Bunu menghunus
senjataNya duhung papan benteng
bermaksud untuk membunuh Angui Bungai
Mamalengai Tingang. Di saat itu Ranying Hatalla Langit pun menampakan
wujudNya, seraya berkata (Panaturan 28 ayat 30 – 31 berikut).
30.Kabantengan
ewen sintung due ije sua – sual, jawa – jawab, te salenga dumah Ranying Hatalla Langit, hayak Iye malawu
rawei: Ela gilan tingang ketun sintung due, basa ikau Raja Bunu uka ikau
handung hakatawan panakan ayum dapit jeha, puna akan bagin matei; Te nah buku
AKU malaluhan akam bawi ije jatun bara aseng ngangkanae.
Di saat mereka berdua saling bertengkar, tiba – tiba
Ranying Hatalla Langit memperlihatkan diriNya seraya berfirman: “Kalian berdua
tidak perlu bertengkar dan kini kuingatkan engkau Raja Bunu, bahwa manusia dari
keturunanmu nanti telah Aku kehendaki akan kembali kepada Aku melalui kematian,
dan itulah sebabnya Aku berikan kepadamu seorang perempuan yang belum bernyawa.
31.Hayak
ije mambatang tutu, awi bara ketun haring sintung telu, ikau ije jadi i-atuhku
mahaga sanaman leteng tuntang ikau kea ije nambekan Gajah Bakapek Bulau Unta
Hajaran Tandang Barikur Hintan nyamah nyalan kabanting matei.
Kemudian yang harus kamu ingat, bahwa dari kalian
bertiga, kamulah yang sudah Aku kehendaki untuk memiliki Sanaman Leteng dan
engkau pula yang telah menusuk Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan hingga mati.
32.Tinai
bitim Angui Bungai Mamalengai Tingang, ije sapuna bitim tuh iete bagare Nyahu Erang Matan Andau,
Kilat Panjang Dimpah Ruang Langit, awi bitim jadi manambang riwut akan
tahasenge, lakum danum akan ndahang darahe, lakum petak akan ndahang isie,
hapam mambelum hampatung tanteluh petak, hete kareh panakan ayum bagare Tinggi
Tingang Mama Hanyi Bungai, Sawang Bengkui Pangganti Balu, ije mijen Batang
Danum Rutas Matei, hete iye mentai pandumah kakare liau isi daha, ije nabasan
awim te palus iye mahagae.
Kemudian engkau Angui Bungai Mama Lengai Tingang,
sesungguhnya engkau adalah Nyahu Erang Matan Andau, Kilat Panjang Dimpah Ruang
Langit, karena engkau telah menggapai angin untuk nafasnya, engkau telah
mengambil air untuk menambah darahnya, engkau telah meminta tanah untuk
menambah dagingnya. Engkau telah menghidupkan patung tanah tersebut, maka
keturunanmu yang bernama Tinggi Tingang Mama Hanyi Bungai, Sawang Bengkui
Panggangti Balu yang Aku atur untuk menempati Batang Danum Rutas Matei, dan di
situ ia akan menunggu kehadiran roh darah dan daging yang telah engkau berikan
itu, sekaligus memeliharanya.
Dari berbagai pengalaman yang dialami oleh Raja Bunu di pantai danum sangiang maka sudah
kehendak Ranying Hatalla Langit bahwa Raja Bunu dan keturunanNya kelak
ditakdirkan untuk menempati Pantai Danum
Kalunen, Luwuk Kampungan Bunu (dunia) karena takdirnya demikian, maka
tibalah saatnya Raja Bunu beserta
istri dan keturunannya diturunkan untuk mengisi dunia, kemudian Ranying Hatala
(Tuhan) memerintahkan Raja Uju untuk
meminta Raja Bunu dan istrinya agar
menyiapkan diri, sebelum diturunkan ke dunia. Raja Bunu dan istrinya tinggal di
Lewu Bukit Tambak Raja di Tumbang Lawang Langit dan pada
keturunanNya yang kemudian mereka diturunkan dengan Palangka Bulau Lambayung Nyahu ke dunia dan tempat pertama kali
mereka diturunkan di puncak Tantan Bukit
Samatuan yaitu di antara sungai Kahayan
Rotot dan Kahayan Katining dari
titik di Tantan Bukit Samatuan inilah
Raja Bunu dan keturunannya mengisi seluruh
Pantai Danum Kalunen, Batang Danum Injam
Tinggang (dunia) dan jika saatnya tiba akan kembali kepada Ranying Hatala
melalui kematian.
|
No comments:
Post a Comment