Gambar

Gambar
SELAMAT MEMBACA,HATAMUEI LINGGU NALANTAI HAPANGAJA KARENDEM MALEMPANG

03 July 2014

RAJA BUNU MANUSIA PERTAMA DALAM PANDANGAN MASYARAKAT DAYAK



S
udah miliaran tahun bahkan lebih bumi ini ada, banyak orang ingin tahu tentang bagaimana proses dan siapa yang pertama menjadi penghuninya, telah banyak pula teori-teori dan pakar-pakar ilmiah mencari tau, begitu juga kitab-kitab agama di dunia ikut memaparkan hal tersebut. Lalu, bagaimana pandangan ajaran Hindu Kaharingan di dalam pustaka sucinnya?
 Banyak orang membicarakan tentang awal siapa yang menjadi penghuni pertama bumi yang maha luas ini, para ahli berusaha meneliti secara ilmiah dari manakah semua itu berasal. Ada berbagai versi dan jawaban yang dikemukan di sana, bahkan seorang ahli (Charles Darwin) menyatakan bahwa manusia adalah hasil dari sebuah perjalanan panjang evolusi dari binatang kera, selain para ilmuwan yang mencari dasar dari sudut pandang ilmiah, banyak juga berbagai macam kitab suci dari berbagai agama di dunia memaparkan tentang siapa yang pertama ada dan menghuni bumi ini, di antara agama-agama tersebut yang sudah dikenal oleh khalayak banyak adalah konsep menurut keyakinan Kristen dan Islam yang menyatakan bahwa manusia pertama adalah Adam dan Hawa, kedua orang inilah yang diyakini sebagai cikal bakal manusia di bumi ini. Namun Hindu Kaharingan punya doktrin lain yang berbeda tentang konsep atau proses munculnya manusia serta siapa yang merupakan cikal bakal umat manusia di bumi.
Bagaimanakah konsep adanya manusia menurut Hindu Kaharingan?

Proses penciptaan manusia menurut Hindu Kaharingan dijelaskan secara panjang lebar di dalam kitab suci Panaturan. Proses adanya manusia di muka bumi tidak langsung ada begitu saja, tetapi melalui tahapan yang panjang, proses itu dimulai
atas kuasa dan kehendak Ranying Hatala Langit dan Jatha Balawang Bulau. Dua bentuk kekuasaan tersebut digambarkan berupa pancaran yang berasal dari Bukit Bulau dan Bukit Hintan, kedua pancaran atau sinar tersebut bertemu dan saling menyatu sehingga menghasilkan dua insan yang disebut Manyemei Malingar Langit (laki-laki) dan Kameluh Bajarumat Hintan (perempuan).
Kedua insan ini berada di sebuah tempat yang disebut Bukit Bulau Kangantung Gandang Kereng Rabia Nunyang Hapalangka Langit, di tempat itulah Ranying Hatalla Langit berfirman kepada mereka berdua bahwa tugas dan tanggung mereka adalah menjaga semua yang telah diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit. Pada suatu ketika mereka berdua berjalan – jalan mengitari alam semesta yang telah diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit, dalam perjalanan itu Kameluh Bajarumat Hintan menggendong Sangku Bulau (sejenis bokor emas) yang berisi danum nyalung kaharingan belum (air suci kehidupan). Entah mengapa di dalam perjalanan tersebut secara tidak sengaja danum nyalung kaharingan belum tersebut tertumpah, air tumpahan itu berubah menjadi telaga besar. Manyamei Malinggar Langit dan Kameluh Bajarumat Hintan melihat ke telaga itu, dan terlihatlah oleh mereka dua bayangan yang menyerupai diri mereka berdua. Bayangan tersebut kemudian berubah wujud menjadi dua sosok yang menyerupai mereka berdua. Kedua wujud tersebut mengaku dirinya sebagai sang pencipta matahari, bulan, bintang, langit, bumi, dan alam semesta serta seluruh isinya, yang laki – laki menyebut dirinya dengan nama Manyamei Tempun Telun Tingang dan Kameluh Tempun Tiawun Tinggang. Kedua wujud ini menggoda Manyamei Malinggar Langit dan Kameluh Bajarumat Hintan agar bersama – sama menciptakan lagi apa yang sudah diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit, dan akhirnya Manyamei Malinggar Langit dan Kameluh Bajarumat Hintan pun tergoda untuk ikut melakukan hal itu.
Karena kuasaNya, Ranying Hatalla Langit sebenarnya  mengatahui hal itu, karena tindakan mereka ini dianggap merusak apa yang sudah diciptakan olehNya, kemudian Dia meleburkan semua yang telah diciptakan oleh Manyamei Malinggar Langit dan Kameluh Bajarumat Hintan bersama dengan Manyamei Tempun Telun Tingang dan Kameluh Tempun Tiawun Tinggang. Sebagai hukuman atas kesalahan ini, Ranying Hatalla Langit lalu meleburkan kembali Manyemei Malinggar Langit dan Kameluh Bajarumat Hintan dan disemayamkan ke dalam Kayu Erang Tingang.  Setelah sekian lama dileburkan, maka atas kehendak Ranying Hatala Langit keluarlah sinar atau pancaran dari Kayu Erang Tingang tersebut. Pancaran itu berubah menjadi dua wujud, wujud laki-laki yang diberi nama Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut yang bertempat di Kalimbahan Laut Mangantung Nyelem Kalang Labehu Handalem dan yang berwujud perempuan bernama Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun bertempat di Jalayan Hulu Danum.
Kedua sosok ini akhirnya bertemu dan tinggal bersama di Lasang Bangkirai Bahenda Sambung (sebuah tempat seperti rumah) di sebuah tempat yang bernama Lewu Batu Nindan Tarung. Setelah sekian lama mereka tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan, Kameluh Putak Bulau mengalami pajanjuri daha (keguguran) hingga dua belas kali. Mengetahui hal demikian, Ranying Hatala Langit lalu memerintahkan Raja Uju Hakanduang untuk melaksanakan upacara perkawinan bagi keduanya. Tidak lama setelah mereka melaksanakan perkawinan, Kameluh Putak Bulau pun akhirnya hamil dan melahirkan kembar tiga anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu.
Dalam perjalanan hidupnya di pantai danum sangiang (alam sangiang) ketiga saudara kembar ini mengalami banyak peristiwa, secara khusus Raja Bunu mengalami peristiwa – peristiwa yang sangat berbeda dari kedua saudaranya.
Peristiwa pertama yang dialami oleh Raja Bunu adalah Dia tidak bisa tumbuh sehat dan besar dengan hanya memakan pantar pinang (sirih dan pinang) seperti kedua saudaranya. Melihat hal demikian Ranying Hatala Langit kemudian menganugerahkan behas nyangen tingang (beras) yang ditaruh di dalam lalang tambangap langit sebagai bahan makanan Raja Bunu. Setelah makan behas nyangen tingang barulah Raja Bunu bisa tumbuh sehat dan normal.
Peristiwa kedua yang mereka alami adalah ketika ketiganya beranjak dewasa. Pada suatu ketika mereka sedang mandi di tepian sungai di Bukit Batu Nindan Tarung dan mendapatkan sepotong besi yang separuhnya terapung dan separuhnya tenggelam di air. Secara bersamaan ketiga saudara ini berusaha untuk mengambil besi tersebut, Raja Sangen dan Raja Sangiang secara kebetulan memegang besi tersebut pada bagian yang terapung, sementara Raja Bunu memegang bagian yang tenggelam. Ketiga bersaudara lalu membawa potongan besi tersebut ke rumah dan menyerahkannya kepada ayah mereka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, sang ayah lalu memotong besi tersebut menjadi 3 bagian sesuai dengan bagian yang dipegang masing – masing. Masing – masing potongan besi tersbut dibuat oleh sang ayah menjadi senjata yang diberi nama Duhung Papan Benteng (senjata yang mirip mata tombak).
Peristiwa ketiga, di hari dengan berbekal senjata duhung papan benteng ketiga bersaudara ini pergi berburu di Bukit Engkan Penyang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Dalam perjalanan berburu tersebut mereka menemukan Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan (binatang sejenis gajah). Tidak ingin buruannya lepas, mereka bertiga berlomba menikam Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan dengan senjata Duhung Papan Benteng. Raja Sangen dan Raja Sangiang berkali – kali menikam hewan tersebut, namun setiap kali hewan tersebut terluka, di saat itu juga luka hewan itu langsung sembuh tak berbekas. Lain halnya dengan Raja Bunu, sekali saja Dia menghunjamkan senjatanya, maka hewan tersebut langsung terluka dan darahnya pun berceceran di sepanjang pelariannya. Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang terus berlari dari arah matahari terbenam menuju matahari terbit untuk menyelamatkan diri. Darahnya yang berceceran di tanah berubah menjadi emas, intan, tumbuh – tumbuhan, dan barang – barang berharga lainnya.
Peristiwa keempat, kemudian pada suatu ketika sang ayah menyuruh anak – anaknya untuk memotong dahan Sangalang Pating Nyahu yang mana dahan – dahan tersebut mengarah kedua arah yaitu ke arah matahari terbit (pambelum) dan matahari terbenam (pembelep). Raja Sangen dan Raja Sangiang mengambil bagian untuk memotong dahan yang mengarah ke matahari terbit, sedangkan Raja Bunu memotong dahan yang mengarah ke matahari terbenam. Ketika dahan Sangalang Pating Nyahu dipotong oleh Raja Sangen dan Raja Sangiang, seketika itu juga dahan tersebut hidup kembali dan bahkan semakin bertambah banyak. Tidak demikian halnya apa yang dilakukan oleh Raja Bunu, sekali saja memotong dahan tersebut langsung jatuh dan mati.
Peristiwa kelima, ketika ketiga saudara kembar ini semakin dewasa tibalah saatnya mereka untuk mendapatkan pasangan hidup. Raja Sangen dan Raja Sangiang mendapatkan pasangan hidup yang berasal dari perwujudan Batang Haring yang berubah menjadi sosok yang diberi nama Kameluh Kambang Garing dan Kameluh Pusun Garing. Sementara itu, Raja Bunu mendapat pasangan hidup hanya berupa patung yang terbuat dari Petak Kalabien Bulan Nyalung Bayan Hintan Kaharingan (tanah) dan belum hidup karena tidak mempunyai nafas. Untuk menghidupkan patung ini, Raja Bunu harus berjuang untuk memperoleh danum nyalung kaharingan belum (air kehidupan) dari Ranying Hatalla Langit.
Untuk menghidupkan calon pasangan hidupNya, Raja Bunu pun menemui Ranying Hatalla Langit untuk meminta danum nyalung kaharingan belum yang kemudian diterimanya dalam wadah luhing pantung tingang (sejenis pakaian). Setelah luhing pantung tingang itu berisi air kehidupan, tiba-tiba saja langsung terlepas oleh Raja Bunu, karena benda tersebut itu langsung hidup dan berubah menjadi tingang rangga bapantung nyahu (burung enggang) yang terbang seraya mengeluarkan suara yang keras. Setelah kejadian tersebut Raja Bunu kembali meminta air kehidupan kepada Ranying Hatalla Langit untuk kedua kalinya, air kehidupan pun diberikan dan disimpan dalam wadah lumpang bulau tanduk tambun (tanduk naga), lagi – lagi benda itu langsung hidup dan terlepas dari tangan Raja Bunu serta berubah menjadi Tambun Baputi Ihing Bajaleang (sejenis naga) langsung menyelam ke dasar laut.
Melihat kejadian yang dialaminya secara berulang – ulang, Raja Bunu pun pulang menemui kedua orang tuanya, karena tidak mampu menghidupkan patung yang terbuat dari tanah yang diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit. Kepada orang tuanya Raja Bunu menceritakan kegagalan yang dialaminya secara berulang – ulang kali. Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau pun menasehati Raja Bunu untuk tidak berhenti berusaha untuk meminta air suci kehidupan kepada Ranying Hatalla Langit, karena sebenarnya semua cobaan dan rintangan yang dihadapi Raja Bunu adalah kehendak  dari Ranying Hatala sendiri.
Untuk ketiga kalinya Raja Bunu kembali pergi menemui Ranying Hatala di Bukit Bulau Kangantung Gandang Kereng Rabia Nunyang Hapalangka Langit untuk meminta air suci kehidupan. Karena kasihnya kepada Ranying Hatalla Langit danum nyalung kaharingan belum yang dimasukan ke dalam wadah Lamiang Bua Garing Belum (lamiang, manik – manik khas Dayak) diberikan lagi kepada Raja Bunu. Untuk membawa air kehdiupan tersebut sampai kepada calon pasangan hidupnya, Raja Bunu harus membawa lamiang tersebut dengan cara menggigitnya, kedua ujung lamiang ditutup dengan kedua tanganya. Ketika dalam perjalanan untuk memberikan air suci kehidupan, Raja Bunu bertemu dengan Angui Bungai Mamalengai Tingang yang mengaku dirinya adalah Ranying Hatalla berusaha untuk menggodanya, dengan menyatakan bahwa air kehidupan tersebut tidak berguna lagi karena calon pasangan hidupnya telah dihidupkan oleh Angui Bungai Mamalengai Tingang. Tergoda dengan kata – kata itu, Raja Bunu pun secara tidak sadar membuka mulutnya sehingga lamiang yang digigitnya terjatuh dan menumpahkan air suci kehidupan tersebut, tumpahan air ini kemudian berubah menjadi berbagai macam tumbuhan dan hewan.
Merasa diganggu oleh Angui Bungai Mamalengai Tingang, Raja Bunu sangat marah dan “Alangkah teganya engkau menggangguku, dan jika memang engkau Ranying Hatalla Langit untuk apa engkau menggangguku sampai Lamiang bua garing belum ini dan patah menjadi dua. Padahal air suci kehidupan ini akan aku berikan kepada Kameluh Tanteluh Petak agar kelak keturunanku tidak bisa mati, sebagaimana kedua saudaraku”, mendengar hal tersebut Angui Bungai Mamalengai Tingang menjawab “Apa yang engkau kehendaki lagi, bukankah patung perempuan itu sudah aku hidupkan, lagi pula kalau kehidupan di dunia ini tidak bisa mati, maka dunia ini nanti akan menjadi penuh oleh mereka”. Tidak terima dengan perlakuan Angui Bungai Mamalengai Tingang, lalu Raja Bunu menghunus senjataNya duhung papan benteng bermaksud untuk membunuh Angui Bungai Mamalengai Tingang. Di saat itu Ranying Hatalla Langit pun menampakan wujudNya, seraya berkata (Panaturan 28 ayat 30 – 31 berikut).
30.Kabantengan ewen sintung due ije sua – sual, jawa – jawab, te salenga dumah Ranying Hatalla Langit, hayak Iye malawu rawei: Ela gilan tingang ketun sintung due, basa ikau Raja Bunu uka ikau handung hakatawan panakan ayum dapit jeha, puna akan bagin matei; Te nah buku AKU malaluhan akam bawi ije jatun bara aseng ngangkanae.
Di saat mereka berdua saling bertengkar, tiba – tiba Ranying Hatalla Langit memperlihatkan diriNya seraya berfirman: “Kalian berdua tidak perlu bertengkar dan kini kuingatkan engkau Raja Bunu, bahwa manusia dari keturunanmu nanti telah Aku kehendaki akan kembali kepada Aku melalui kematian, dan itulah sebabnya Aku berikan kepadamu seorang perempuan yang belum bernyawa.
31.Hayak ije mambatang tutu, awi bara ketun haring sintung telu, ikau ije jadi i-atuhku mahaga sanaman leteng tuntang ikau kea ije nambekan Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan nyamah nyalan kabanting matei.
Kemudian yang harus kamu ingat, bahwa dari kalian bertiga, kamulah yang sudah Aku kehendaki untuk memiliki Sanaman Leteng dan engkau pula yang telah menusuk Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan hingga mati.
32.Tinai bitim Angui Bungai Mamalengai Tingang, ije sapuna bitim  tuh iete bagare Nyahu Erang Matan Andau, Kilat Panjang Dimpah Ruang Langit, awi bitim jadi manambang riwut akan tahasenge, lakum danum akan ndahang darahe, lakum petak akan ndahang isie, hapam mambelum hampatung tanteluh petak, hete kareh panakan ayum bagare Tinggi Tingang Mama Hanyi Bungai, Sawang Bengkui Pangganti Balu, ije mijen Batang Danum Rutas Matei, hete iye mentai pandumah kakare liau isi daha, ije nabasan awim te palus iye mahagae.
Kemudian engkau Angui Bungai Mama Lengai Tingang, sesungguhnya engkau adalah Nyahu Erang Matan Andau, Kilat Panjang Dimpah Ruang Langit, karena engkau telah menggapai angin untuk nafasnya, engkau telah mengambil air untuk menambah darahnya, engkau telah meminta tanah untuk menambah dagingnya. Engkau telah menghidupkan patung tanah tersebut, maka keturunanmu yang bernama Tinggi Tingang Mama Hanyi Bungai, Sawang Bengkui Panggangti Balu yang Aku atur untuk menempati Batang Danum Rutas Matei, dan di situ ia akan menunggu kehadiran roh darah dan daging yang telah engkau berikan itu, sekaligus memeliharanya.
Dari berbagai pengalaman yang dialami oleh Raja Bunu di pantai danum sangiang maka sudah kehendak Ranying Hatalla Langit bahwa Raja Bunu dan keturunanNya kelak ditakdirkan untuk menempati Pantai Danum Kalunen, Luwuk Kampungan Bunu (dunia) karena takdirnya demikian, maka tibalah saatnya Raja Bunu beserta istri dan keturunannya diturunkan untuk mengisi dunia, kemudian Ranying Hatala (Tuhan) memerintahkan Raja Uju untuk meminta Raja Bunu dan istrinya agar menyiapkan diri, sebelum diturunkan ke dunia. Raja Bunu dan istrinya tinggal di Lewu Bukit Tambak Raja di Tumbang Lawang Langit dan pada keturunanNya yang kemudian mereka diturunkan dengan Palangka Bulau Lambayung Nyahu ke dunia dan tempat pertama kali mereka diturunkan di puncak Tantan Bukit Samatuan yaitu di antara sungai Kahayan Rotot dan Kahayan Katining dari titik di Tantan Bukit Samatuan inilah Raja Bunu dan keturunannya mengisi seluruh Pantai Danum Kalunen, Batang Danum Injam Tinggang (dunia) dan jika saatnya tiba akan kembali kepada Ranying Hatala melalui kematian.

No comments: