Gambar

Gambar
SELAMAT MEMBACA,HATAMUEI LINGGU NALANTAI HAPANGAJA KARENDEM MALEMPANG

08 June 2011

RITUAL HIANG SANDAH (RITUAL KELAHIRAN MASYARAKAT HINDU KAHARINGAN DAS KATINGAN)

Mampandui Awau (Anak) pada prosesi ritual

A
nak adalah harapan masa depan bagi setiap orang tua, kehilangan satu orang anak berarti kehilangan seribu keturunan di kemudian hari, demikian pentingkah seorang anak? Tentu sangat penting, lalu bagaimana umat Hindu Kaharingan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan memaknai kelahiran seorang anak?
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap orang tua menginginkan anaknya kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik, mental maupun sosial serta berahlak mulia. Hal ini menunjukan betapa pentingnya seorang anak yang lahir dan hidup di dunia, begitu juga bagi masyarakat Hindu Kaharingan di DAS Katingan dalam menyambut datangnya sosok manusia baru yang akan mengisi dan memberikan kontribusi bagi keluarga, suku, bangsa/ negara dan dunia. Begitu anak telah lahir maka akan dilakukan berbagai ritual penyambutan dengan memanjatkan doa sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatala Langit (Tuhan) yang diwujudkan dalam ritual Hiang Sandah.
Ritual Hiang Sandah adalah ritual ucapan syukur atau ucapan terima kasih keluarga atas pertolongan Sangiang Hiang Sandah sebagai manifestasi Ranying Hatala Langit yang telah membantu ibu dalam melahirkan seorang anak dan sekaligus ritual pemberian nama untuk anak. Disamping itu semua, upaya manusia dalam menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Sang Pencipta juga terefleksi dalam ritual ini.
Ritual ini dilakukan selama 2 (dua) hari yaitu pada hari pertama dilakukan prosesi ritual mampandui awau (memandikan bayi) dengan rentetan ritual yaitu mampalua awau bara pasah/huma (mengeluarkan anak dari rumah), manyamenget awau baun bapatah hapan petak (menaburkan tanah di kepala si bayi yang dilaksanakan di teras depan rumah), mampandui awau (memandikan anak) dan mampelep punduk enyuh (memadamkan api pada tangkai kelapa yang dibakar), dalam prosesi ini ada terkandung nilai bahwa alam adalah teman yang akan selalu mendampingi anak dalam perjalanan hidupnya sejak ia datang ke Pantai Danum Kalunen (dunia) dan ketika suatu saat nanti kembali menyatu dengan Ranying Hatala Langit. Pada prosesi ritual ini orang tua mengendong anak menggunakan sapuyung metuk di mana pada sapuyung metuk tersebut diselipkan rumput sasaka, sembilu,langeh/akar simbel dan membawa punduk enyuh yang ditaruh pada palindung serta manyamenget anak dengan tanah sebagai pertanda bahwa hari itu merupakan pertama kalinnya si anak keluar dari rumah. Makna dari upacara ini juga menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dan cinta orang tua kepada anaknya. Dari rasa kasih sayang dan cinta maka akan memunculkan rasa untuk melindungi dan menuntunnya ketika dia masih hidup dan begitu hal ini dipahami dengan betul- betul oleh tiap-tiap anak, maka ketika mereka besar seharusnya tidak ada seorang anak pun yang akan membalas semua kebaikan orang tuanya dengan sesuatu yang kurang pantas.
Pada hari kedua ritual, keluarga dan orang tua menyiapkan sesajen ritual berupa kue randang, cucur, ketan hitam, ketan putih, dan memotong ayam sebagai hewan korban. Untuk warna bulu ayam bisa warna apa saja tetapi kalau anak laki-laki maka hewan korbannya adalah ayam betina begitu juga sebaliknya jika anak perempuan hewan korbannya ayam jantan. Sesajen lain yang disiapkan juga adalah memanggang sagala (terbuat dari bambu yang di dalamnya diisi beras ketan) dan asip biasa (terbuat dari bambu dan di dalamnya diisi beras biasa dicampur dengan bagian dalam isi hewan korban), kemudian seluruh sesajen disiapkan di atas tikar purun, setelah semua sesajen siap kemudian seorang rohaniawan (pisor) akan memimpin prosesi ritual dengan manyaki (mengoleskan darah hewan korban) dan manggaru (mengasapi dengan perapian atau dupa) sesajen dilanjutkan dengan manggaru beras tawur, mampisik ganan behas (membangkitkan roh beras), manjung tawur ke Pantai Danum Sangiang (roh beras pergi menuju tempat di mana Hiang Sandah berada) untuk memanggil roh Hiang Sandah. Ritual ini dilaksanakan di depan pintu rumah.
Sesajen Ritual Hiang Sandah
Kemudian pisor mencicipi sesajen yang telah disiapkan sebagai simbol bahwa Sangiang Hiang Sandah sudah menerima ucapan syukur yang dipersembahkan oleh keluarga tersebut, lalu dilanjutkan dengan manyipa dan masang katune. Ritual berikutnya adalah batatang saki batimpung palas yaitu bidan yang menolong persalinan anak mengoleskan darah hewan korban pada si anak sebagai simbol untuk memohon berkat dari Ranying Hatala Langit melalui Sangiang Hiang Sandah. Ritual batatang saki batimpung palas terdiri dari manyaki anak serta kedua orang tuanya dengan darah hewan korban, tampung tawar, manyamenget (menaburkan beras di atas kepala), muhus undus tanak (mengoleskan minyak tanak di atas kepala). Begitu selesai ritual batatang saki batimpung palas maka dilanjutkan dengan ritual basarak sundur (menyisir rambut bayi dan ibunya) yang dilakukan oleh sang suami sebagai simbol do’a agar istri dan anaknya selalu dianugrahi kesehatan dan keselamatan. Setelah ritual basarak sundur selesai maka akan dilanjutkan dengan ritual enyuh kurak pinding (menggoyang – goyangkan buah kelapa di dekat telinga si bayi) dan diakhiri dengan ritual Sangiang Darung Bawan yaitu melempar beberapa sesaji hingga melampaui atap rumah yang bermakna agar anak nantinya dapat menjalani hidup dengan baik dan mampu menghadapi segala halangan dan rintangan yang ia hadapi.
Setelah itu, buah kepala yang digunakan tersebut ditanam di dekat sawang turus janji kedua orang tuannya ketika menikah. Pada ritual ini rohaniawan (pisor), orang tua, dan seluruh keluarga mengucapakan do’a – do’a seraya menaruh harapan besar kepada anak tersebut agar kelak menjadi seseorang yang berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa/ negara dan bumi tercinta.
Manfaat lain yang dapat dipetik dari ritual ini adalah adanya nilai kebersamaan di masyarakat yang mulai sangat jarang terlihat di kehidupan manusia sekarang, nilai kebersamaan yang diperlihatkan oleh keluarga besar ketika bekerja saling gotong royong untuk membantu keluarganya baik berupa materil maupun non materi (dukungan moral), hal ini menunjukan bahwa Peyang Hinje Simpei, Panturung Humba Tamburak bukan hanya menjadi slogan semata tetapi mendarah daging dalam kehidupan pemeluk agama Hindu Kaharingan di DAS Katingan. Makna lain yang terlihat dalam ritual ini adalah adanya upaya yang secara tidak langsung untuk melestarikan warisan leluhur berupa ritual maupun barang-barang yang selama ini semakin hari semakin punah seperti balusuh, palindung, sapuyung metuk, dan lain – lain, jika ritual ini tetap konsisten dilakukan maka kita tidak akan kehilangan jati diri, ajaran- ajaran leluhur yang memang perlu dipertahankan, mempunyai nilai tinggi dan makna besar dalam menjalani kehidupan maka dari itu orang-orang yang melakukan ritual ini seharusnya merasa bangga dan bukan merupakan suatu beban kehidupan.***
(Terima Kasih Kepada Narasumber Almarhum Sinon Kanjok)

No comments: