Gambar

Gambar
SELAMAT MEMBACA,HATAMUEI LINGGU NALANTAI HAPANGAJA KARENDEM MALEMPANG

08 June 2011

ISUT SARITAN TATU HIANG ITAH “KUTAT” BARA TELUK EMBAK/KATINGAN



T
atu itah Kutat te oloh ije setengah taloh tutang setengah olon. Awi te kea ie tau hinje dengan taloh tuntang tau hinje dengan itah oloh, hayak dengan kamamut manteng.
Tatu itah Kutat badukuh into teluk Embak huang Tasik Payawan. Hete ie mampendeng puduk (pasha ije inyapau ininding tuntang ilaseh hapan upak kayu). Tukep pasah te ie manampa talaga (sumur) ije ilampik tuntang inyiring dengan papan tabalien. Puji kea uluh mangatang papan tabalien te handak metun manduan, situ-sini pehe kanai, tapaksa ilekak ilabuh haluli. Eweh-eweh ije mangatang handak mandua, hingga kalute hate-hate papan tabalien masih atun ih sapai wayah tuh. Talaga te kalumbah kurang labih 5 depe. Kapanjang  Tinai kandalem ee pire-pire pandang dia puji keang.

PEMAKNAAN AUH LUNAS MUJAN BALAI/AYAT-AYAT MUJAN BALAI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA


D
alam melakukan kegiatan balian para Basir (Pemimpin Ritual) melakuan nyanyian suci yang disebut Lunas Balian, setiap munduk balian para Basir melakukan lunas ditemani dengan alat musik Katambung (alat musik tabuh) prosesi melakukan lunas cukup panjang mulai dari Narinjet dan Nantilang Liau sampai dengan Lunas Pambuli Sangiang. Demikian dibawah ini kita akan mendengar pengelan Lunas/Tuturan ayat Balian Mujan Balai dalam prosesi ritual Balian, perlu dijelaskan bahwa Mujan Balai adalah suatu prosesi dimana balian menjelaskan bahwa beras yang mereka jadikan media penghubung antara para balian dengan Sangiang Tarantang Garu (leluhur yang menjadi sahur para basir), seperti demikian dibawah ini;

“Gemerincing suara tawur menghujani seluruh ruang balai, bagaikan suara jala terlepas dari gantungannya”


“Tawur turun dan tiba diantara para sangiang yang sedang duduk berkumpul didalam ruangan balai tua pimpinan”

“Dengan kehadiran tawur diantara merekapun jadi gemetar dan mereka merasa kaget”

“Tawur berada diantara para sangiang, ditengah kelompok anak-anak, dewasa dan orang-orang”

“Mereka bertanya pada dirinya; mengapa badanku terasa gemetar binggung dan kaget?”

“Dikira dandang tingang terlepas jatuh dari ujung Sampulau Dare yang kupasang disisi Lawung, kenyataanya bukan demikian.”

“Dikira kalung emasku terlepas putus talinya yang baru saja dibuat tadi, juga bukan demikian”

“Serentak sangiang melihat diatas tikar, maka terlihatlah oleh mereka ada perjalanan tawur baru tiba”

“Barebutan sangiang duduk sama-sama ingin mengenal tawur, bagaikan burung tinggang berebut makan buah beringin”

“Saya menyebutnya tawur dari orang yang saat berjalan dihutan, akan tetapi Tawur ini tidak ada bercampur ricihan daun-daunan”

“Saya menyebutnya tawur dari orang yang melakukan perdamaian, akan tetapi Tawur ini tidak ada bercampur curia emas dari cincin emas”

“Saya menyebutnya tawur dari orang yang melakukan upaca pemandian suci pemberian nama, akan tetapi Tawur ini tidak ada bercampur mayang pinang, dan selanjutnya ayat 31,32,33,34,35,36 dan selanjutnya ayat 44”

“Mereka dengan serempak bersama-sama mengumpul Beras Tawur, kemudian menyimpan dan mengumpulnya Beras Tawur, kemudian menyimpannya memenuhi Garing Lalunjung Pulang”

Walaupun sesungguhnya Lunas Mujab Balai adalah bagian dari prosesi balian dan bagian dari ritual tetapi kita bisa mengambil sedikit makna untuk kehidupan kita sehari-hari, yaitu dalam proses menjalani hidup di dunia ini, ada beberapa hal yang menarik yang perlu dilihat untuk hal itu diantaranya

Disini telihat jelas ada sesuatu yang baru datang (Beras Tawur) yang terlihat sebagai benda asing pada saat itu, ketika adanya sesuatu yang asing maka akan adanya tanda-tanda dari dalam tubuh/pikiran atas hal yang baru tersebut dan akan memunculkan sebuah RESPON terlihat dari lunas balian diatas “Dengan kehadiran tawur diantara merekapun jadi gemetar dan mereka merasa kaget.”Adapun respon terhadap sesuatu yang baru datang (Beras Tawur)  maka yang terjadi adalah SEBUAH PERTANYAAN? dari pertanyaan ini maka akan muncul yang namanya HIPOTESIS jawaban sementara/ pandangan kasarnya tersebut terlihat dari frasa-frasa dari lunas “Mereka bertanya pada dirinya; mengapa badanku terasa gemetar binggung dan kaget?” Respon yang pertama dari SISTEM/PROSES didalam frasa-frasa ayat diatas adalah sebagai mana berikut “Dikira dandang tingang terlepas jatuh dari ujung Sampulau Dare yang kupasang disisi Lawung, kenyataanya bukan demikian.” Hal ini menunjukkan respon pertama yang dilakukan adalah melihat KEDALAM DIRI SENDIRI bukan MELIHAT KELUAR sampai melihat kedalam menjadi tuntas maka akan terjadi sebuah kesimpulan tertutup yang pasti YA dan TIDAK terlihat dari frasa-frasa lunas muja yang demikian “kenyataanya bukan demikian” maka barulah demikian Kita MELIHAT KELUAR Ketika kita melihat keluar maka akan lebih rumit karena HARUS DIANALISA coba kita lihat dari frasa-frasa “Saya menyebutnya tawur dari orang yang saat berjalan dihutan, akan tetapi Tawur ini tidak ada bercampur ricihan daun-daunan dan Saya menyebutnya tawur dari orang yang melakukan perdamaian, akan tetapi Tawur ini tidak ada bercampur curia emas dari cincin emas” mungkin disini ada yang.

Mempelajari filsafat yang lebih dalam!! Reoni dengan pengetahuan yang saya dulu pernah diajari untuk hal tentang Premis Mayor// Premis Monir// Kesimpulan serta KEKELIRUAN-KELIRUANNYA hal ini ditunjukkan juga dalam frasa-frasa ini tanpa kita harus melihat dimana kekeliruaanya untuk menganalisa dan suatu pola pikir yang terstruktur. Dalam suatu system ada sebuah TIM dalam TIM yang perlu diingat!!! adalah bukan berapa banyak orang hebatnya tetapi bagaimana kita melihat orang yang paling LEMAH dalam TIM tersebut serta sekecil apapun celah itu harus kita perhatikan, coba kita lihat analogi ini pada sebuah RANTAI jenis apapun yang saling menyambung, jika dalam sambungan tersebut dicoba untuk ditari dari satu ujung ke ujung lainnya maka pada daerah rantai-rantai yang paling kuat tidak perlu kita khawatirkan untuk terjadi putus tetapi pada rantai yang lemah dan rapuh itu yang sangat kita khawatirkan dan potensial besar untuk putus coba kita berkaca dari frasa-frasa “Mereka dengan serempak bersama-sama mengumpul Beras Tawur, kemudian menyimpan dan mengumpulnya Beras Tawur, kemudian menyimpannya memenuhi Garing Lalunjung Pulang dan yang lebihnya disimpan didalam SANGKU”.***

RAJA SANGEN, RAJA SANGIANG DAN RAJA BUNU DIANUGRAHI GAJAH BAKAPEK BULAU, UNTA HAJARAN TANDANG BARIKUR HINTAN


Kutipan dari Ayat-Ayat tersebut :
15.Dari jauh sudah terlihat oleh mereka bertiga ada cahaya, yaitu cahaya Gajah Bakapek Bulau, sinar Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, sangat besar sekali kelihatannya
16.Begitu mereka bertiga tiba, mereka berlari saling mendahului menuju Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, dan ternyata mereka bersama tiba dan langsung memegangnya
17.Mereka bertiga saling berebutan tarik-menarik, seraya berkata, kata Raja Sangen: Saya yang punya, kata Raja Sangiang: saya yang punya, begitu pula kata Raja Bunu dia yang punya, sahingga gemuruh sekali suara mereka bertiga berebutan
19.Setiba diBukit Engkan Penyang, Manyamei Tunggul Garing Janjuhunan Laut berkata : Haii anak-anakk kalian bertiga, jangan berebutan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan ini, lebih baik kalian bertiga sama-sama memilikinya sama-sama pula memeliharanya
20.Maka berkata Raja Sangen menjawab kata-kata ayahnya: Saya yang punya,sebab saya yang paling dahulu memelihatnya
21.Tidak demikian, kata Raja Sangiang menjawab kata-kata saudaranya Raja Sangen saya ini yang mempunyainya sebab saya yang paling dahulu melihatnya dan paling dahulu pula tiba
22.Kata Raja Bunu, menjawab perkataan kedua saudaranya: saya yang mempunyainya, sebab saya paling dahulu melihatnya dan saya juga yang paling dahulu memegannya
23.Marah sekali Raja Sangen mendengar perkataan kedua saudaranya tersebut, ia langsung menghunus Duhung Papan Bentengnya dan menikam Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan

Mari kita bercermin kedalam ayat-ayat Panaturan tersebut diatas kemudian kita melihat kembali kronologis yang terjadi pada ketiga anak Manyamei Tunggul Garing Janjuhanan laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun dimana mereka menemukan sebuah obyek TUNGGAL (Gajah bakapek Bulau, Untah Hajaran Tandan) dimana mereka sebagai objek kedua adalah 3 (bertiga) orang dimana objek kedua melebihi dari jumlah objek pertama letak permasalahannya bukanlah pada jumlah subjek yang melebihi jumlah objek tetapi terletak pada kata INGGIN MEMILIKI SUATU OBJEK YANG TUNGGAL itu adalah hal pertama yang dapat kita tarik.
Pada cerita berikutnya dalam ayat-ayat PANATURAN diatas terjadi KEKELIRUAN MEREKA PADA beberapa frasa-frasa ini :
Raja Sangen menjawab kata-kata ayahnya: Saya yang punya, sebab saya yang paling dahulu MELIHATNYA
Raja Sanggiang menjawab ; sebab saya paling dahulu MELIHATNYA dan saya juga yang paling dahulu MEMEGANGNYA
Raja Bunu menjawab ; saya yang paling dahulu MELIHATNYA dan paling dahulu pula TIBA
Hal ini menunjukan mereka telah dikelirukan oleh INDRIA-INDRIA dalam DIRI MEREKA sehingga akan terjadi hal pada cerita dibawah ini: Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya, "Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?" Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab,  "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada di sampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"
Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satu pun jawaban yang memuaskan. Sang guru lalu berkata, "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi." Namun lebih celakanya pada cerita diatas adalah ketika mereka memperbutkan suatu objek tiba-tiba ada suatu TINGKAH LAKU (PSIKOMOTOR)//GERAK TUBUH YANG KEMUDIAN DILAKUKAN RAJA SANGEN adalah MENGHUNUS DOHONG PAPAN BENTENG PADA objek (Gajah bakapek Bulau, Untah Hajaran Tandan) yang diperebutkan.
Pada beberapa frasa-frasa//Kemudian ditemukan ada orang ketiga dari kedua objek seperti dalam kutipan ayat ini//Manyamei Tunggul Garing Janjuhunan Laut berkata : Haii anak-anakk kalian bertiga, jangan berebutan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan ini, lebih baik kalian bertiga sama-sama memilikinya sama-sama pula memeliharanya// dimana orang ketiga dalam ayat ini memberikan jalan WIN-WIN SOLUTION (ma”af tulisan gawur//maklum kemampuan bahasa yang kurang….hehe3) tetapi hal itu sangat TAMPAK TERASINGKAN karena obyek 2 (kedua) unsur indrianya telah ditutupi oleh unsur lain. Bila manusia dilihat dan dikaitkan unsur-unsur api adalah darah,dst (menurut pandangan beberapa orang) maka akan terlihat betul hal ini memang bisa terjadi.
Dari hal ini dapat ditarik sebuah kesimpulan singkatnya:
1.Jika ada suatu objek ingin memiliki objek lain yang tunggal, dimana objek yang ingin memiliki melebihi objek yang ingin dimiliki maka akan terjadi sebuah KONFLIK sebuah KONFLIK tidak akan menjadi masalah jika TIDAK ADA PSIKOMOTOR yang EXTRIM dimana jika dirunut Psikomotor yang EXL dimulai dari tertutupnya INDRIA.
2.Ketika ada sebuah Konflik maka objek lain sebagai orang Ketiga sering dilupakan tanpa melihat PERTIMBANGAN akan WIN-WIN SOLUTION
3. SUMBER DASAR dari semua ini adalah PANCA INDRA

RITUAL HIANG SANDAH (RITUAL KELAHIRAN MASYARAKAT HINDU KAHARINGAN DAS KATINGAN)

Mampandui Awau (Anak) pada prosesi ritual

A
nak adalah harapan masa depan bagi setiap orang tua, kehilangan satu orang anak berarti kehilangan seribu keturunan di kemudian hari, demikian pentingkah seorang anak? Tentu sangat penting, lalu bagaimana umat Hindu Kaharingan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan memaknai kelahiran seorang anak?
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap orang tua menginginkan anaknya kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik, mental maupun sosial serta berahlak mulia. Hal ini menunjukan betapa pentingnya seorang anak yang lahir dan hidup di dunia, begitu juga bagi masyarakat Hindu Kaharingan di DAS Katingan dalam menyambut datangnya sosok manusia baru yang akan mengisi dan memberikan kontribusi bagi keluarga, suku, bangsa/ negara dan dunia. Begitu anak telah lahir maka akan dilakukan berbagai ritual penyambutan dengan memanjatkan doa sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatala Langit (Tuhan) yang diwujudkan dalam ritual Hiang Sandah.
Ritual Hiang Sandah adalah ritual ucapan syukur atau ucapan terima kasih keluarga atas pertolongan Sangiang Hiang Sandah sebagai manifestasi Ranying Hatala Langit yang telah membantu ibu dalam melahirkan seorang anak dan sekaligus ritual pemberian nama untuk anak. Disamping itu semua, upaya manusia dalam menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Sang Pencipta juga terefleksi dalam ritual ini.
Ritual ini dilakukan selama 2 (dua) hari yaitu pada hari pertama dilakukan prosesi ritual mampandui awau (memandikan bayi) dengan rentetan ritual yaitu mampalua awau bara pasah/huma (mengeluarkan anak dari rumah), manyamenget awau baun bapatah hapan petak (menaburkan tanah di kepala si bayi yang dilaksanakan di teras depan rumah), mampandui awau (memandikan anak) dan mampelep punduk enyuh (memadamkan api pada tangkai kelapa yang dibakar), dalam prosesi ini ada terkandung nilai bahwa alam adalah teman yang akan selalu mendampingi anak dalam perjalanan hidupnya sejak ia datang ke Pantai Danum Kalunen (dunia) dan ketika suatu saat nanti kembali menyatu dengan Ranying Hatala Langit. Pada prosesi ritual ini orang tua mengendong anak menggunakan sapuyung metuk di mana pada sapuyung metuk tersebut diselipkan rumput sasaka, sembilu,langeh/akar simbel dan membawa punduk enyuh yang ditaruh pada palindung serta manyamenget anak dengan tanah sebagai pertanda bahwa hari itu merupakan pertama kalinnya si anak keluar dari rumah. Makna dari upacara ini juga menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dan cinta orang tua kepada anaknya. Dari rasa kasih sayang dan cinta maka akan memunculkan rasa untuk melindungi dan menuntunnya ketika dia masih hidup dan begitu hal ini dipahami dengan betul- betul oleh tiap-tiap anak, maka ketika mereka besar seharusnya tidak ada seorang anak pun yang akan membalas semua kebaikan orang tuanya dengan sesuatu yang kurang pantas.
Pada hari kedua ritual, keluarga dan orang tua menyiapkan sesajen ritual berupa kue randang, cucur, ketan hitam, ketan putih, dan memotong ayam sebagai hewan korban. Untuk warna bulu ayam bisa warna apa saja tetapi kalau anak laki-laki maka hewan korbannya adalah ayam betina begitu juga sebaliknya jika anak perempuan hewan korbannya ayam jantan. Sesajen lain yang disiapkan juga adalah memanggang sagala (terbuat dari bambu yang di dalamnya diisi beras ketan) dan asip biasa (terbuat dari bambu dan di dalamnya diisi beras biasa dicampur dengan bagian dalam isi hewan korban), kemudian seluruh sesajen disiapkan di atas tikar purun, setelah semua sesajen siap kemudian seorang rohaniawan (pisor) akan memimpin prosesi ritual dengan manyaki (mengoleskan darah hewan korban) dan manggaru (mengasapi dengan perapian atau dupa) sesajen dilanjutkan dengan manggaru beras tawur, mampisik ganan behas (membangkitkan roh beras), manjung tawur ke Pantai Danum Sangiang (roh beras pergi menuju tempat di mana Hiang Sandah berada) untuk memanggil roh Hiang Sandah. Ritual ini dilaksanakan di depan pintu rumah.
Sesajen Ritual Hiang Sandah
Kemudian pisor mencicipi sesajen yang telah disiapkan sebagai simbol bahwa Sangiang Hiang Sandah sudah menerima ucapan syukur yang dipersembahkan oleh keluarga tersebut, lalu dilanjutkan dengan manyipa dan masang katune. Ritual berikutnya adalah batatang saki batimpung palas yaitu bidan yang menolong persalinan anak mengoleskan darah hewan korban pada si anak sebagai simbol untuk memohon berkat dari Ranying Hatala Langit melalui Sangiang Hiang Sandah. Ritual batatang saki batimpung palas terdiri dari manyaki anak serta kedua orang tuanya dengan darah hewan korban, tampung tawar, manyamenget (menaburkan beras di atas kepala), muhus undus tanak (mengoleskan minyak tanak di atas kepala). Begitu selesai ritual batatang saki batimpung palas maka dilanjutkan dengan ritual basarak sundur (menyisir rambut bayi dan ibunya) yang dilakukan oleh sang suami sebagai simbol do’a agar istri dan anaknya selalu dianugrahi kesehatan dan keselamatan. Setelah ritual basarak sundur selesai maka akan dilanjutkan dengan ritual enyuh kurak pinding (menggoyang – goyangkan buah kelapa di dekat telinga si bayi) dan diakhiri dengan ritual Sangiang Darung Bawan yaitu melempar beberapa sesaji hingga melampaui atap rumah yang bermakna agar anak nantinya dapat menjalani hidup dengan baik dan mampu menghadapi segala halangan dan rintangan yang ia hadapi.
Setelah itu, buah kepala yang digunakan tersebut ditanam di dekat sawang turus janji kedua orang tuannya ketika menikah. Pada ritual ini rohaniawan (pisor), orang tua, dan seluruh keluarga mengucapakan do’a – do’a seraya menaruh harapan besar kepada anak tersebut agar kelak menjadi seseorang yang berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa/ negara dan bumi tercinta.
Manfaat lain yang dapat dipetik dari ritual ini adalah adanya nilai kebersamaan di masyarakat yang mulai sangat jarang terlihat di kehidupan manusia sekarang, nilai kebersamaan yang diperlihatkan oleh keluarga besar ketika bekerja saling gotong royong untuk membantu keluarganya baik berupa materil maupun non materi (dukungan moral), hal ini menunjukan bahwa Peyang Hinje Simpei, Panturung Humba Tamburak bukan hanya menjadi slogan semata tetapi mendarah daging dalam kehidupan pemeluk agama Hindu Kaharingan di DAS Katingan. Makna lain yang terlihat dalam ritual ini adalah adanya upaya yang secara tidak langsung untuk melestarikan warisan leluhur berupa ritual maupun barang-barang yang selama ini semakin hari semakin punah seperti balusuh, palindung, sapuyung metuk, dan lain – lain, jika ritual ini tetap konsisten dilakukan maka kita tidak akan kehilangan jati diri, ajaran- ajaran leluhur yang memang perlu dipertahankan, mempunyai nilai tinggi dan makna besar dalam menjalani kehidupan maka dari itu orang-orang yang melakukan ritual ini seharusnya merasa bangga dan bukan merupakan suatu beban kehidupan.***
(Terima Kasih Kepada Narasumber Almarhum Sinon Kanjok)