Gambar

Gambar
SELAMAT MEMBACA,HATAMUEI LINGGU NALANTAI HAPANGAJA KARENDEM MALEMPANG

15 July 2014

BENTUK, POLA DAN MAKNA RUMAH BETANG PADA MASYARAKAT DAYAK NGAJU


P
embagian Bangunan, Dalam setiap aspek kehidupan suku Dayak dahulu selalu didasari oleh kepercayaan terhadap penguasa tertinggi yang menempati 2 (dua) alam yaitu alam atas serta alam bawah dan manusia berada diantara kedua alam tersebut. Pandangan tersebut mempengaruhi dalam pembagian bangunan rumah tradisional suku Dayak secara umum yaitu bangunan dibagi menjadi 3 (tiga) meliputi kepala, badan, dan kaki. Atap dianalogikan sebagai kepala, dinding sebagai badan dan pondasi atau kolom struktur sebagai kaki. Selain itu, sistem rumah panggung secara spontan mengungkapkan mental yang sadar akan dirinya, yang merasa di atas dan mengatasi alam sehingga dapat dijumpai sebentuk harga diri yang benar-benar harafiah maupun kiasan mengatasi alam, raja terhadap nasib alam (Mangunwidjaya, 1995:113114).
Luas Bangunan, Bangunan Betang berukuran besar dan berbentuk memanjang karena ditempati oleh beberapa keluarga secara turun-temurun. Jumlah anggota keluarga dapat digunakan untuk menetapkan jumlah dan ukuran ruang, sedangkan untuk menetapkan jumlah dan ukuran ruang yang tepat, perlu dilihat dari susunan keluarga (Surowiyono, 1982: 33).
Makna Pemilihan Bentuk Bangunan, berdasarkan pada kepercayaan dimana penguasa alam tertinggi menempati 2 (dua) alam dan manusia berada diantaranya sehingga suku Dayak dulu beranggapan bahwa aman apabila hidup diantara alam tersebut, maka mereka memilih rumah panggung sebagai bentuk rumah tinggal mereka dan dianalogi-kan ke dalam bentuk bangunan seperti kolong rumah sebagai alam bawah dan badan bangunan sebagai alam tengah. Fenomena yang ada di suku Dayak sama seperti pernyataan Mangunwijaya bahwa bagi orang dahulu, tata wilayah dan tata bangunan alias arsitektural tidak diarahkan pertama kali demi penik-matan rasa estetika bangunan, tetapi terutama demi pelangsungan hidup secara kosmis. Orang dahulu spontan membagi dunia dalam tiga lapis yaitu dunia atas (surga, kahyangan), dunia bawah (dunia maut), dan dunia tengah yang didiami manusia (Mangun-wijaya, 1995:95-96). Pernyataan ini terbukti pada rumah Betang dimana bentuk bangunan sangat sederhana karena fungsi dari bangunan tersebut yang diutamakan namun terkandung pemikiran yang dalam, dimana selalu dikaitkan dengan kepercayaan mereka saat itu. Sedangkan rumah sekarang, dalam pemilihan bentuk bangunan hanya sekedar menilai bentuk rumah dulu walaupun tidak sama persis, mencoba mengkombinasikan bentuk tradisional dengan bentuk yang lebih modern, dengan kata lain mencoba memanfaatkan hikmat serta keuntungan-keuntungan fisik serta teknisnya (Mangunwijaya, 1995:113).
Pembagian Ruang, pembagian ruang sangat sederhana terlihat dari denah, dimana ruangan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu 1) Batang Huma yang terdiri dari ruang los dan ruang tidur, 2) dapur dan 3) karayan. Dalam pem-bagian ruang pun selalu didasari pada kepercayaan terhadap penguasa alam tertinggi.
Bentuk Ruang, ruang di dalam rumah Betang selalu berada pada satu dinding yang melingkupi ruang secara kese-luruhan sehingga dapat disebut dengan istilah ruang tertutup. Lain halnya dengan rumah Betang III dimana ruang-ruang berada pada dinding nyata yang berbeda dan ruang nyata mempunyai hubungan langsung dengan bagian luar sehingga disebut dengan ruang terbuka (Suptandar, 1999:62).
Dalam rumah Betang terdapat ruang yang berukuran paling besar dari ruang lain yaitu ruang los yaitu ruang tamu atau ruang keluarga, itu dikarenakan suku dayak menganut sistem keluarga besar dan kekerabatan yang kuat sehingga membutuhkan ruang untuk keluarga berkumpul. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep hidup kebersamaan dan keterbukaan masih terjaga dan itu tercermin dari bentuk ruang yang ada dalam rumah Betang.

Tata Letak dan Peletakan Ruang, dalam Rumah Betang dulu berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan dalam peletakan ruang seperti berikut:
Ruang los, harus berada ditengah bangunan karena merupakan pusat atau poros bangunan dimana tempat orang berkumpul melakukan berbagai macam kegiatan baik itu kegiatan keagaman, sosial masyarakat dan lain-lain.
Ruang tidur, harus disusun berjajar sepanjang bangunan Betang. Peletakan ruang tidur anak dan orang tua ada ketentuan tertentu dimana ruang tidur orang tua harus berada paling ujung dari aliran sungai dan ruang tidur anak bungsu harus berada pada paling ujung hilir aliran sungai, jadi ruang tidur orang tua dan anak bungsu tidak boleh diapit dan apabila itu dilanggar akan mendapat petaka bagi seisi rumah.
Dapur, berada baik itu sebelah kanan atau kiri dari badan rumah dan harus menghadap kealiran sungai agar penghuni rumah selalu mendapat rezeki.
Peletakan ruang rumah Betang dulu semua berdasarkan kepercayaan dimana mengadung arti yang mendalam dan sebagai wujud ketaatan pada adat.
Kolom/Tiang, Rumah Betang identik dengan tiang-tiang ber-ukuran besar sebagai struktur utama rumah karena kolom berfungsi sebagai pengikat dinding bangunan agar tidak goyah dan sebagai penunjang beban bangunan di atasnya (Surowiyono, 1982:19). Namun, seiring perkembangan jaman ada yang berubah pada tiang Betang sekarang dibandingkan dengan tiang Betang dulu. Hal ini terlihat dari tinggi kolom, tata letak dan peletakan kolom, diameter kolom, dan bahan kolom.
Tinggi tiang rumah Betang pun mengalami peru-bahan. Dahulu, tinggi tiang rumah dari permukaan tanah minimum ±3 m, namun sekarang tiang rumah Betang tidak lagi setinggi rumah Betang dulu. Kondisi saat ini dan dulu sangat berbeda dimana dulu alam masih asli sehingga tiang rumah harus dibuat tinggi untuk menghindari binatang dan banjir. Selain itu juga masih ada perang antar suku atau lebih dikenal dengan Hakayau (pemenggalan kepala) sehingga untuk ke-amanan dibuat rumah bertiang tinggi (Mangunwijaya, 1995:113).
Pada rumah Betang dulu ada 4 (empat) tiang yang disebut dengan tiang agung dan setiap tiang mem-punyai nama seperti tiang Bakas, tiang Busu, tiang Penyambut, dan tiang Perambai. Dalam tata letak tiang mempunyai aturan-aturan tertentu seperti tiang Bakas berada di sebelah kanan pintu masuk, tiang Busu berada di sebelah kiri pintu masuk, tiang Perambai berada sederet dengan tiang Busu dan tiang Penyambut sederet dengan tiang Bakas dan keempat tiang ini harus berada di tengah ruang los (hasil wawancara). Bagi suku Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan bahwa ke-empat tiang agung melambangkan turunnya manusia pertama yang diturunkan oleh Ranying Hatala Langit.
Hejan (Tangga), Rumah Betang merupakan rumah berkolong dengan tiang yang tinggi sehingga untuk naik turun menggunakan tangga disebut hejan yang terbuat dari kayu bulat dan dibuat ruas-ruas untuk tempat kaki memanjat tangga tersebut. Suku Dayak dulu dalam membuat hejan mempunyai aturan yang digunakan dimana aturan tersebut berkaitan dengan kepercayaan mereka, seperti menentukan jumlah anak tangga harus ganjil sehingga pada hitungan genap kaki sudah memasuki rumah dengan maksud agar terhindar dari malapetaka. Dan menentukan jumlah railing tangga (pakang hejan) juga harus ganjil 1 atau 3. Menurut filosofi suku Dayak, manusia dibagi menjadi 3 tingkatan usia yaitu anak-anak, remaja dan dewasa dimana masing-masing tingkatan mempunyai jangkauan yang berbeda.
Penempatan Pintu Masuk, Pada Betang dalam penempatan pintu masuk ada ketentuan yang harus ditaati yaitu pertama, pintu ditempatkan di tengah-tengah bangunan rumah sehingga seakan-akan menjadi garis yang membagi rumah sama rata, dengan kata lain terlihat pola simetri pada bangunan. Kedua, pintu harus berada di bagian sisi panjang bangunan rumah, dan ketiga, berdasarkan hasil wawancara pintu selalu berada di depan ruang los.
Model, Bentuk pintu rumah Betang sangat seder-hana, berbentuk polos baik itu pada pintu masuk dan pintu bilik. Untuk membuka serta menutup pintu masuk digunakan tangan kiri dengan maksud bila ada tamu dengan maksud baik, maka tangan kanan digunakan untuk mempersilahkan tamu masuk. Sebaliknya jika tamu bermaksud jahat dan langsung menyerang maka tangan kanan dapat digunakan untuk menangkis serangan (Depdikbud, 1997/ 1998:61).
Walaupun berbentuk sederhana karena yang lebih diutamakan adalah fungsi pintu sehingga nilai estetis tidak begitu diperhatikan, namun terlihat ada pemi-kiran yang mendalam menentukan bukaan pintu. Tetapi saat ini ada perubahan dimana pintu yang semula hanya berfungsi sebagai unsur pengamanan sekarang diukir, dipilih bahan yang baik agar terpandang dalam masyarakat
Semua aturan tersebut berkaitan dengan keper-cayaan suku Dayak pada saat itu dengan tujuan agar kehidupan penghuni rumah Betang dapat hidup damai karena hidup penuh dengan keseimbangan.
Ukuran, Suku Dayak dulu dalam menentukan ukuran pintu berdasarkan ukuran tubuh manusia terutama ukuran tubuh wanita, dengan cara wanita duduk bersandar dan kaki diselonjorkan maka didapatkan bukaan pintu. Sedangkan menentukan tinggi pintu wanita berdiri dan sebelah tangannya menggapai ke atas maka didapat tinggi pintu, sehingga tidak ada ukuran baku yang menjadi standar bukaan pintu rumah Betang.
Rumah Betang Dulu, Elemen dekoratif Betang dulu kental dengan nilai religius dimana ukiran, patung dan anyaman mengan-dung makna seperti:
Ukiran yang terdapat diatas ambang pintu berupa gambaran akan penguasa bumi baik itu penguasa atas dan penguasa bawah, dimana setiap penem-patannya mempunyai maksud tertentu, seperti:
Ukiran Asun Bulan dimana ada 2 orang bersalaman. Makna dari ukiran ini adalah tuan rumah haruslah ramah terhadap orang yang bertamu.
Ukiran Tambarirang Maning Singkap Langit dimana ukiran menyerupai anjing merupakan gambaran dari Tatun Hatuen (Raja Palasit). Di letakkan di atas ambang pintu maksudnya agar hatuen tidak mengganggu penghuni.
Patung berbentuk manusia pada pakang hejan (railling tangga) merupakan simbol dari penja-ga rumah Betang. Maksud diletakkan di depan tangga karena tangga merupakan pintu awal dari rumah sehingga roh-roh jahat tidak mengganggu penghuni rumah.
Anyaman yang terbuat dari rotan bermotif Batang Garing pada tiang agung dimana motif ini melambangkan kesejahteraan.
(Ditulis Ulang : Efri Dulie dari Astria, 2008)

No comments: