Gambar

Gambar
SELAMAT MEMBACA,HATAMUEI LINGGU NALANTAI HAPANGAJA KARENDEM MALEMPANG

12 July 2014

RITUAL NULAK PERES (MENJAUHKAN PENYAKIT)

Pisor Memimpin Ritual Nulak Peres

D
alam berbagai litelatur ilmiah penyakit bersumber dari berbagai macam, yaitu karena gaya hidup, faktor-faktor genetika (diturunkan) dan adanya antigen-antigen (kuman, virus,dll) yang masuk (menginvasi) menginfeksi tubuh atau trauma-trauma tertentu, yang pasti jika di diagnosa sakit maka akan ditangani dan diobati sesuai dengan standar-standar penanganan dan perawatan yang sudah ada. Pendekatan medis adalah pendekatan yang ilmiah dan tertentu jika ini digali lebih dalam maka berakhir pada tingkat-tingkat molekuler dari unsur-unsur kimia namun jika ditanya darimanakah sumber-sumber molekuler dan unsur-unsur kimia tersebut? maka akan sulit menemukan titik terangnya karena semua berawal dari Ranying Hatala. Penyakit sudah tentu setiap kepercayaan dan agama memiliki pandangan terhadapnya, pada kehidupan sehari-hari umat Hindu Kaharingan juga sudah tentu ada keyakinan dan pemahaman tentang penyakit, pemikiran dan pemahaman yang bersumber dari ajaran-ajaran leluhur yang barang tentu jika dipandang dari segi ilmiah adalah akan dianggap sesuatu yang aneh, namun pada realitannya hal itu bukan karena ajaran-ajaran yang aneh tetapi pemahan kita sebagai manusia yang sungguh kurang mampu menelaahnya. Kemudian dibenaak setiap orang akan ada terpikir pertanyaan ini;


Bagaimanakah Hindu Kaharingan memandang penyakit itu?

Untuk menjelaskan itu mesti harus merunutnya dari Panaturan, hal ini dijelaskan dari pertemuan Manyamei Tunggu Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun di Lasang Bangkirai Bahenda Sambung di Pantai Danum Sangiang (Khayangan) pertemuan dan penyatuan yang tanpa di ikuti oleh sebuah ikatan mengakibatkan Kameluh Putak Bulau mengalami Panjajuri Daha (Keguguran), darah tersebut dilihat dan diambil oleh Manyamei Tunggu Garing Janjahunan Laut dengan kain Hitam kemudian ditempatkan dalam Sangku Raja (sebuah wadah seperti mangkuk) yang kemudian untuk menghanyutkannya Manyamei Tunggu Garing Janjahunan Laut membuat sebuah lanting dari Bamban Balang yang kemudian lanting tersebut dilihat oleh Tambun Hai Nipeng Pulau Pulu maka di ikuti oleh suara petir dan cahayanya rakit Bamban Balang berubah menjadi Lanting Leleng Burung Dahiang (rakit burung dahiang yang mangakibatkan pengaruh buruk dalam kehidupan), Sangku Raja berubah menjadi Banama Bunter Dia Haluana, Anjung Bulat Isen Kamburia (Kapal tanpa haluan dan ujung belakang) lalu darah dalam kain hitam menjadi Sarupui Biha Apui yang mana kemudian berketurunan Tunggal Kurung, Dahiang Batanduk Tunggal yang menjadi berbagai macam dahiang (pengaruh buruk dalam kehidupan) dan juga menjadi Karang Rajan Peres yang menjadi berbagai macam penyakit yang berada di tengah samudera mereka tersebutlah yang dianggap sebagai sumber penyakit yang kemudian mengambil nyawa seseorang yang sudah sampai saatnya kembali menyatu dengan Ida Hyang Widhi Wasa/ Ranying Hatala hal ini diperkuat oleh ritual Balian Tantulak Ambu Rutas Matei (ritual tiga hari setelah kematian) disana dijelaskan perjalanan Sangiang Raja Dohong Mama Tandang, Langkah Apang Bungai Sangiang dari Bukit Pasahan Raung (alam kuburan) menuju ke Laut Mangantung Sampang Hariran Manunyang (Tengah Samudra) bertemu dengan Karang Rajan Peres untuk mengambil roh manusia yang meninggal yang disimpan dalam Banama Bunter Dia Haluana, Anjung Bulat Isen Kamburia yang mana dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah satu rakyat dari Karang Rajan Peres (Raja Penyakit) yang memiliki tandak bintik darah di dahinya hal itu menunjukkan bahwa dia lah yang menyebabkan kematian tersebut, yang kemudian diminta Raja Dohong Mama Tandang untuk mengembalikan roh liau haring kaharingan (roh yang meninggal) dan jangan lagi menganggu keluarga dari yang meninggal, pada akhirnya roh tersebut diberikan dalam bentuk Tanteluh Tingang Katen Antang (telur).

Bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?

Dalam masalah tersebut ada 2 (dua) jalan yang telah disabhakan Tuhan Ranying Hatala hal ini terlihat;
1.  Saka/Obat-Obatan, hal ini di sabdhaka ketika terciptanya Manyemei Tempun Telun Tinggang dan Kameluh Tempun Tiawun Tinggang yang meciptakan segala macam penyakit dan permasalahan dalam kehidupan maka diciptkanlah oleh Ranying Hatala dan Jatha Balawang Bulau berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hal-hal lain yang dapat membantu manusia dalam mengatasinnya, yang dalam kehidupan orang Hindu Kaharingan disebut saka dan dijaman yang modern ini disebut obat-obatan.
2.  Ritual, hal ini di sabdhaka ketika Ranying Hatala dan Jatha Balawang Bulau menciptakan Behas Parei Manyangen Tinggang (beras) menjadi dua fungsi dalam kehidupan yaitu sebagai tambing nyaman luwuk kampungan bunu (makanan) dan dohong ruang rawei luwuk kampungan bunu (mediator/perantara) antara manusia dengan roh-roh/kekuatan diluar dirinya


Prosesi Ritual Nulak Peres

Satu hari sebelum ritual dicarilah bahan-bahan dan alat ritual yang diperlukan untuk membuat sesajen dan acak serta keperluan lain. Pada hari kedua pembuatan sesajen dimulai dengan para ibu memasak ketan pada bambu yang disebut asip, memasak kue (kue cucur, randang), membuat ketupan (ketupat ayam, sinta, bala laki-laki serta perempuan) dan mengisi dengan beras asli yang ditumbuk, disisi lain para bapak bekerjasama membuat acak (ayaman tempat sejajen yang terbuat dari bambu), meniris tangkai kelapa, dan membuat kuah tepung (patung manusia dari tepung), setelah ketan dalam bambu yang disebut asip sudah masak maka ayam akan disembelih, sebelumnya ayam dikasai hendai (kunyit dan ditambah minyak), tampung tawar (air/tirta) dan digaru dengan perapen (dupa) di ikuti dengan do”a (mantra-mantra dalam bahasa Sangiang) setelah selesai ayam disembeli dengan kepala mengarah pambelum (matahari terbit) darah ayam ditambah sedikit bulunya ditampung pada wadah, kemudian ayam dibersihkan dari bulu-bulunya, bagian usus halus ayam tidak dimasak tetapi diambil mentah untuk sesajen, ayam dibelah dari pantat menuju kepala pada bagian badan belakang kanan, kuah tepung (patung manusia dari tepung) yang sudah ditaruh bagian-bagian baju+celana, kuku, rambut dimasukkan dalam ancak.
Setelah semua sudah selesai maka prosesi segera dimulai, tikar tawur dihampar menghadap arah pambelum (matahari terbit) setelah itu pisor/rohaniawan memasang semua perlengkapannya dalam memimpin ritual yaitu mengikat lilis/lamiang pada tangannya, memasang mandau serta dohong (alat tradisional) dan mengikat lawung (ikat kepala dari kain merah), lalu acak ditaruh diatas tikar tawur kemudian semua sesajen dimasukan didalam ancak kecuali sangku tambak yang berisi hambaruan, setelah semua selesai pisor yang memimpin ritual manyaki sesajen dengan darah ayam, menapung nawar dan menyapu ngaru dengan mengunakan do’a/mantra-mantra suci dalam bahasa Sangiang.
Masyarakat Desa Dalam Mengikuti Ritual
Ritual berlanjut pada prosesi berikutnya yaitu narinjet behas dengan terlebih dahulu mengaru manyan behas tawur yang ada didalam mangkok dengan menggunakan do’a/mantra-mantra dalam bahasa Sangiang, setelah selesai maka dimulailah prosesi narinjet behas dan manawur dimana didalam berbagai prosesi ritual, beras merupakan mediator melewati putir bawin tawur sintung uju atau manyamei hatuen tawur sintung uju untuk ritual tertentu yang menjadi penghubung antara manusia dengan para bhuta kala dan para sangiang (dewa)/kekuatan diluar dirinnya, dimana dalam tawur pisor (basir/pemimpin ritual) memohon berkat dan perlindungan dari atang tajahan (elang sakti penguasa tajahan/hutan suci baik elang langit dan elang dibumi) lalu juga dengan patahu panjaga lewu (dewa suci penjaga kampung halaman) baik untuk dirinya sebagai pemimpin ritual dan seluruh masyarakat kampong, setelah itu barulah pisor/rohaaniawan menawur (melalui putir bawin tawur sintung uju) menyampaikan sesajen kepada Karang Raja Peres (Raja Penyakit) dan membangun roh kuah tepung (patung manusia dari tepung) sebagai penganti manusia yang ada dikampung setelah prosesi manawur selesai maka ancak diangkat dan satu persatu masyarakat kampung menghantukkan kepala bagian kiri pada acak dengan arah menghadap ke matahari terbit (pambelum) di ikuti dengan do’a dilanjut meludahi bagian dalam acak serta menolaknya dengan tangan kiri setelah prosesi ini selesai acak dikeluarkan dari dalam tempat ritual dan dibawa ke pinggir sungai di seberang kampung tempat berlangsungnya prosesi, setelah selesai semua orang mengambil hambaruan yang disimpan dalam sangku tambak dan melakukan ritual batatan saki batimpung palas (saki palas)/ mengoleskan darah hewan korban, manyamenget, memercikkan tirta dan mengoles undus tanak (minyak kelapa) serta mengikat kain kuning ditangan.

No comments: